Rabu, 07 Oktober 2009

Kepabeananjrid...

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG

NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) diubah

sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 17 diubah dan

ditambah 4 (empat) angka, yaitu angka 15a, angka 19,

angka 20, dan angka 21 sehingga Pasal 1 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas

barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta

pemungutan bea masuk dan bea keluar.

2. Daerah . . .

- 3 -

2. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia

yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang

udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di

Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di

dalamnya berlaku Undang-Undang ini.

3. Kawasan pabean adalah kawasan dengan batasbatas

tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau

tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang

yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

4. Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat

dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang ini.

5. Pos pengawasan pabean adalah tempat yang

digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk

melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang

impor dan ekspor.

6. Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang

kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi

ketentuan dalam Undang-Undang ini.

7. Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang

dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan

kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang

ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik

Indonesia.

9. Direktur jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan

Cukai.

10. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur

pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen

Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai.

11. Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan

tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu

berdasarkan Undang-Undang ini.

12. Orang adalah orang perseorangan atau badan

hukum.

13. Impor . . .

- 4 -

13. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke

dalam daerah pabean.

14. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari

daerah pabean.

15. Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan

Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang

yang diimpor.

15a. Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan

Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang

ekspor.

16. Tempat penimbunan sementara adalah bangunan

dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan

dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun

barang, sementara menunggu pemuatan atau

pengeluarannya.

17. Tempat penimbunan berikat adalah bangunan,

tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan

tertentu yang digunakan untuk menimbun barang

dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan

penangguhan bea masuk.

18. Tempat penimbunan pabean adalah bangunan

dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan

dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di

kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk

menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai,

barang yang dikuasai negara, dan barang yang

menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang

ini.

19. Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh

instansi teknis terkait sebagai barang yang

pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi.

20. Audit kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan

laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang

menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang

berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data

elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di

bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam

rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang kepabeanan.

21. Tarif . . .

- 5 -

21. Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea

masuk atau bea keluar.

2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah sehingga Pasal 2

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean

diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea

masuk.

(2) Barang yang telah dimuat di sarana pengangkut

untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap

telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang

ekspor.

(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan

merupakan barang ekspor dalam hal dapat

dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk

dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean.

3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 pasal yaitu

Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2A

(1) Terhadap barang ekspor dapat dikenakan bea keluar.

(2) Bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor

dengan tujuan untuk:

a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;

b. melindungi kelestarian sumber daya alam;

c. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup

drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran

internasional; atau

d. menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di

dalam negeri.

(3) Ketentuan mengenai pengenaan bea keluar terhadap

barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

4. Ketentuan . . .

- 6 -

4. Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga

Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan

pabean.

(2) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan

pemeriksaan fisik barang.

(3) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dilakukan secara selektif.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pabean

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

5. Pasal 4 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 4

sehingga Penjelasan Pasal 4 menjadi sebagaimana

ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-

Undang ini.

6. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal,

yaitu Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A

(1) Terhadap barang tertentu dilakukan pengawasan

pengangkutannya dalam daerah pabean.

(2) Instansi teknis terkait, melalui menteri yang

membidangi perdagangan, memberitahukan jenis

barang yang ditetapkan sebagai barang tertentu

kepada Menteri.

(3) Ketentuan mengenai pengawasan pengangkutan

barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

peraturan pemerintah.

7. Ketentuan . . .

- 7 -

7. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga

Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor

pabean atau tempat lain yang disamakan dengan

kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan

pabean.

(2) Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat

bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain

yang disamakan dengan kantor pabean.

(3) Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan

kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean,

kantor pabean, dan pos pengawasan pabean.

(4) Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos

pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri.

8. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal,

yaitu Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A

(1) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam

bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk

data elektronik.

(2) Penetapan kantor pabean tempat penyampaian

pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik

dilakukan oleh Menteri.

(3) Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-

Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan peraturan menteri.

9. Ketentuan . . .

- 8 -

9. Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat,

sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Terhadap barang yang diimpor atau diekspor berlaku

segala ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang ini.

(2) Dalam hal pengawasan pengangkutan barang

tertentu tidak diatur oleh instansi teknis terkait,

pengaturannya didasarkan pada ketentuan Undang-

Undang ini.

10. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal,

yaitu Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6A

(1) Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban

pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapat nomor

identitas dalam rangka akses kepabeanan.

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) orang yang melakukan

pemenuhan kewajiban pabean tertentu.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan peraturan menteri.

11. Judul BAB II diubah sehingga BAB II berbunyi sebagai

berikut:

BAB II

PENGANGKUTAN BARANG, IMPOR,

DAN EKSPOR

12. Judul BAB II Bagian Pertama diubah sehingga BAB II

Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

Bagian Pertama

Pengangkutan Barang

13. Judul . . .

- 9 -

13. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 diubah sehingga

BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 berbunyi sebagai

berikut:

Paragraf 1

Kedatangan Sarana Pengangkut

14. Pasal 7 dihapus.

15. Di antara Pasal 7 dan BAB II Bagian Pertama Paragraf 2

disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 7A yang berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 7A

(1) Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan

datang dari:

a. luar daerah pabean; atau

b. dalam daerah pabean yang mengangkut barang

impor, barang ekspor, dan/atau barang asal

daerah pabean yang diangkut ke tempat lain

dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean,

wajib memberitahukan rencana kedatangan sarana

pengangkut ke kantor pabean tujuan sebelum

kedatangan sarana pengangkut, kecuali sarana

pengangkut darat.

(2) Pengangkut yang sarana pengangkutnya memasuki

daerah pabean wajib mencantumkan barang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam

manifesnya.

(3) Pengangkut yang sarana pengangkutnya datang

dari luar daerah pabean atau datang dari dalam

daerah pabean dengan mengangkut barang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

menyerahkan pemberitahuan pabean mengenai

barang yang diangkutnya sebelum melakukan

pembongkaran.

(4) Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran,

kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dilaksanakan:

a. paling . . .

- 10 -

a. paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak

kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana

pengangkut yang melalui laut;

b. paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan

sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut

yang melalui udara; atau

c. pada saat kedatangan sarana pengangkut, untuk

sarana pengangkut yang melalui darat.

(5) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan

ayat (4) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh

paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak

melakukan pembongkaran barang.

(6) Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan

darurat, pengangkut dapat membongkar barang

impor terlebih dahulu dan wajib:

a. melaporkan keadaan darurat tersebut ke kantor

pabean terdekat pada kesempatan pertama; dan

b. menyerahkan pemberitahuan pabean paling

lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah

pembongkaran.

(7) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi

administrasi berupa denda paling sedikit

Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(8) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau

ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda

paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta

rupiah).

(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan peraturan menteri.

16. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 diubah sehingga

BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 berbunyi sebagai

berikut:

Paragraf 2

Pengangkutan Barang

17. Pasal 8 . . .

- 11 -

17. Pasal 8 dihapus.

18. Di antara Pasal 8 BAB II Bagian Pertama Paragraf 3

disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 8A, Pasal 8B, dan

Pasal 8C yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A

(1) Pengangkutan barang impor dari tempat

penimbunan sementara atau tempat penimbunan

berikat dengan tujuan tempat penimbunan

sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya

wajib diberitahukan ke kantor pabean.

(2) Pengusaha atau importir yang telah memenuhi

kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang

dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan

pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa

kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya,

wajib membayar bea masuk atas barang impor yang

kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi

berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua

puluh lima juta rupiah) dan paling banyak

Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta

rupiah).

(3) Pengusaha atau importir yang telah memenuhi

kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari

yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean

dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan

tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai

sanksi administrasi berupa denda paling sedikit

Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan

paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah).

(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara

pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

peraturan menteri.

Pasal 8B . . .

- 12 -

Pasal 8B

(1) Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas

untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui

transmisi atau saluran pipa yang jumlah dan jenis

barangnya didasarkan pada hasil pengukuran di

tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean.

(2) Pengiriman peranti lunak dan/atau data elektronik

untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui

transmisi elektronik.

(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara

pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan pengiriman sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

peraturan menteri.

Pasal 8C

(1) Barang tertentu wajib diberitahukan oleh

pengangkut baik pada waktu keberangkatan

maupun kedatangan di kantor pabean yang

ditetapkan.

(2) Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib dilindungi dokumen yang sah dalam

pengangkutannya.

(3) Pengangkut yang telah memenuhi kewajiban

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi

jumlahnya kurang atau lebih dari yang

diberitahukan dan tidak dapat membuktikan bahwa

kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya,

dikenai sanksi administrasi berupa denda paling

sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling

banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(4) Pengangkut yang tidak memenuhi kewajiban

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi

administrasi berupa denda paling sedikit

Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan

paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah).

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

19. Judul . . .

- 13 -

19. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 diubah sehingga

BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 berbunyi sebagai

berikut:

Paragraf 3

Keberangkatan Sarana Pengangkut

20. Pasal 9 dihapus.

21. Di antara Pasal 9 dan BAB II Bagian Kedua disisipkan 1

(satu) pasal, yaitu Pasal 9A yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 9A

(1) Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan

berangkat menuju:

a. ke luar daerah pabean;

b. ke dalam daerah pabean yang mengangkut barang

impor, barang ekspor, dan/atau barang asal

daerah pabean yang diangkut ke tempat lain di

dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean,

wajib menyerahkan pemberitahuan pabean atas

barang yang diangkutnya sebelum keberangkatan

sarana pengangkut.

(2) Pengangkut yang sarana pengangkutnya menuju ke

luar daerah pabean wajib mencantumkan barang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam

manifesnya.

(3) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi

administrasi berupa denda paling sedikit

Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

peraturan menteri.

22. Judul BAB II Bagian Kedua diubah sehingga BAB II

Bagian Kedua berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kedua

Impor

23. Pasal 10 ...

- 14 -

23. Pasal 10 dihapus.

24. BAB II Bagian Kedua ditambah 3 (tiga) paragraf, yaitu

Paragraf 1, Paragraf 2, dan Paragraf 3 yang berbunyi

sebagai berikut:

Paragraf 1

Pembongkaran, Penimbunan,

dan Pengeluaran

Pasal 10A

(1) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib

dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di

tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor

pabean.

(2) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) dapat

dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut dan

barang tersebut wajib dibawa ke kantor pabean

melalui jalur yang ditetapkan.

(3) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah

barang impor yang dibongkar kurang dari yang

diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak

dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi

di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk

atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai

sanksi administrasi berupa denda paling sedikit

Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan

paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah).

(4) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah

barang impor yang dibongkar lebih banyak dari yang

diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak

dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi

di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi

berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua

puluh lima juta rupiah) dan paling banyak

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(5) Barang . . .

- 15 -

(5) Barang impor, sementara menunggu pengeluarannya

dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat

penimbunan sementara.

(6) Dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di

tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat

penimbunan sementara.

(7) Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean

atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk:

a. diimpor untuk dipakai;

b. diimpor sementara;

c. ditimbun di tempat penimbunan berikat;

d. diangkut ke tempat penimbunan sementara di

kawasan pabean lainnya;

e. diangkut terus atau diangkut lanjut; atau

f. diekspor kembali.

(8) Orang yang mengeluarkan barang impor dari kawasan

pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada

ayat (6), setelah memenuhi semua ketentuan tetapi

belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat

bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa

denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta

rupiah).

(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan peraturan menteri.

Paragraf 2

Impor Untuk Dipakai

Pasal 10B

(1) Impor untuk dipakai adalah:

a. memasukkan barang ke dalam daerah pabean

dengan tujuan untuk dipakai; atau

b. memasukkan barang ke dalam daerah pabean

untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang

berdomisili di Indonesia.

(2) Barang . . .

- 16 -

(2) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor

untuk dipakai setelah:

a. diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi

bea masuknya;

b. diserahkan pemberitahuan pabean dan jaminan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau

c. diserahkan dokumen pelengkap pabean dan

jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.

(3) Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak

sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam

daerah pabean pada saat kedatangannya wajib

diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai.

(4) Barang impor yang dikirim melalui pos atau jasa

titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan

pejabat bea dan cukai.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan peraturan menteri.

(6) Orang yang tidak melunasi bea masuk atas barang

impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b

atau huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan

menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea

masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi

berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari bea

masuk yang wajib dilunasi.

Pasal 10C

(1) Importir dapat mengajukan permohonan perubahan

atas kesalahan data pemberitahuan pabean yang telah

diserahkan sepanjang kesalahan tersebut terjadi

karena kekhilafan yang nyata.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditolak apabila:

a. barang telah dikeluarkan dari kawasan pabean;

b. kesalahan tersebut merupakan temuan pejabat bea

dan cukai; atau

c. telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan

cukai.

(3) Ketentuan . . .

- 17 -

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

peraturan menteri.

Paragraf 3

Impor Sementara

Pasal 10D

(1) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor

sementara jika pada waktu importasinya benar-benar

dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3

(tiga) tahun.

(2) Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali

berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai.

(3) Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan

atau keringanan bea masuk.

(4) Barang impor sementara yang diberikan keringanan

bea masuk, setiap bulan dikenai bea masuk paling

tinggi sebesar 5% (lima persen) dari bea masuk yang

seharusnya dibayar.

(5) Orang yang terlambat mengekspor kembali

barang impor sementara dalam jangka waktu yang

diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda

sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang

seharusnya dibayar.

(6) Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor

sementara dalam jangka waktu yang diizinkan wajib

membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi

berupa denda 100% (seratus persen) dari bea masuk

yang seharusnya dibayar.

(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

peraturan menteri.

25. Judul BAB II Bagian Ketiga diubah sehingga BAB II

Bagian Ketiga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga

Ekspor

26. Pasal 11 . . .

- 18 -

26. Pasal 11 dihapus.

27. Di antara Pasal 11 dan BAB III disisipkan 1 (satu) pasal,

yaitu Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A

(1) Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan

dengan pemberitahuan pabean.

(2) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi

penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas,

dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean

dan/atau jumlah tertentu.

(3) Pemuatan barang ekspor dilakukan di kawasan

pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di

tempat lain dengan izin kepala kantor pabean.

(4) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor,

sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun

di tempat penimbunan sementara atau tempat lain

dengan izin kepala kantor pabean.

(5) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika ekspornya

dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan

cukai.

(6) Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspor

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi

administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00

(lima juta rupiah).

(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan peraturan menteri.

28. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang

besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam

Pasal 12 ayat (1) terhadap:

a. barang . . .

- 19 -

a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk

berdasarkan perjanjian atau kesepakatan

internasional; atau

b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana

pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman

melalui pos atau jasa titipan.

(2) Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan peraturan menteri.

29. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar,

barang dikelompokkan berdasarkan sistem

klasifikasi barang.

(2) Ketentuan tentang klasifikasi barang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan

peraturan menteri.

30. Ketentuan Pasal 15 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),

ayat (6) dan ayat (7) diubah, dan di antara ayat (3) dan

ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3a) sehingga

Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah

nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.

(2) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea

masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai

transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai

pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan

berdasarkan nilai transaksi barang dari barang

identik.

(3) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea

masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai

transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea

masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari

barang serupa.

(3a) Dalam . . .

- 20 -

(3a) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea

masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai

transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan

bea masuk ditentukan berdasarkan ketentuan pada

ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas

permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat

digunakan mendahului ayat (4).

(4) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea

masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai

transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan

bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi.

(5) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea

masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai

transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana

dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk

penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan

metode komputasi.

(6) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea

masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai

transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud

pada ayat (4), atau metode komputasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk

penghitungan bea masuk ditentukan dengan

menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten

dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur

pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5)

berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean

dengan pembatasan tertentu.

(7) Ketentuan mengenai nilai pabean untuk

penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan peraturan menteri.

31. Ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),

dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 16 . . .

- 21 -

Pasal 16

(1) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif

terhadap barang impor sebelum penyerahan

pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga

puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean.

(2) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai

pabean barang impor untuk penghitungan bea

masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean

atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal

pemberitahuan pabean.

(3) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan

kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir

mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 93 ayat (1), importir wajib melunasi bea

masuk yang kurang dibayar sesuai dengan

penetapan.

(4) Importir yang salah memberitahukan nilai pabean

untuk penghitungan bea masuk sehingga

mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk

dikenai sanksi administrasi berupa denda paling

sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang

kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu

persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

(5) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan

pembayaran bea masuk, pengembalian bea masuk

dibayar sebesar kelebihannya.

(6) Ketentuan mengenai penetapan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

32. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b diubah dan ditambah

1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 17 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif

dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk

dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak

tanggal pemberitahuan pabean.

(2) Dalam . . .

- 22 -

(2) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal

memberitahukan secara tertulis kepada importir

untuk:

a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau

b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang

lebih dibayar.

(3) Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian

bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan

penetapan kembali.

(4) Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan

nilai transaksi yang diberitahukan sehingga

mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk,

dikenai sanksi administrasi berupa denda paling

sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang

kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu

persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

33. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal,

yaitu Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A

Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal dapat

menetapkan klasifikasi barang dan nilai pabean atas

barang impor sebagai dasar penghitungan bea masuk

sebelum diajukan pemberitahuan pabean.

34. Judul BAB IV diubah sehingga BAB IV berbunyi sebagai

berikut:

BAB IV

BEA MASUK ANTI DUMPING,

BEA MASUK IMBALAN,

BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN,

DAN BEA MASUK PEMBALASAN

35. Pasal 20 dihapus.

36. Pasal 23 dihapus.

37. BAB IV . . .

- 23 -

37. BAB IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian Ketiga,

Bagian Keempat, dan Bagian Kelima yang berbunyi

sebagai berikut:

Bagian Ketiga

Bea Masuk Tindakan Pengamanan

Pasal 23A

Bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan

terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan

barang impor baik secara absolut maupun relatif

terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau

barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan

barang impor tersebut:

a. menyebabkan kerugian serius terhadap industri

dalam negeri yang memproduksi barang sejenis

dengan barang tersebut dan/atau barang yang

secara langsung bersaing; atau

b. mengancam terjadinya kerugian serius terhadap

industri dalam negeri yang memproduksi barang

sejenis dan/atau barang yang secara langsung

bersaing.

Pasal 23B

(1) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 23A paling tinggi sebesar

jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian

serius atau mencegah ancaman kerugian serius

terhadap industri dalam negeri.

(2) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari

bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat

(1).

Bagian Keempat

Bea Masuk Pembalasan

Pasal 23C

(1) Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang

impor yang berasal dari negara yang memperlakukan

barang ekspor Indonesia secara diskriminatif.

(2) Bea . . .

- 24 -

(2) Bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) merupakan tambahan bea masuk yang

dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).

Bagian Kelima

Pengaturan dan Penetapan

Pasal 23D

(1) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara

pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk

imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea

masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan

peraturan pemerintah.

(2) Besar tarif bea masuk antidumping, bea masuk

imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea

masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

38. Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3),

dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 25

(1) Pembebasan bea masuk diberikan atas impor:

a. barang perwakilan negara asing beserta para

pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan

asas timbal balik;

b. barang untuk keperluan badan internasional

beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;

c. buku ilmu pengetahuan;

d. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan

ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan

atau untuk kepentingan penanggulangan bencana

alam;

e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang,

dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk

umum serta barang untuk konservasi alam;

f. barang untuk keperluan penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan;

g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra

dan penyandang cacat lainnya;

h. persenjataan . . .

- 25 -

h. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan

kepolisian, termasuk suku cadang yang

diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan

keamanan negara;

i. barang dan bahan yang dipergunakan untuk

menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan

dan keamanan negara;

j. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;

k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau

abu jenazah;

l. barang pindahan;

m. barang pribadi penumpang, awak sarana

pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman

sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah

tertentu;

n. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan

anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi

kepentingan masyarakat;

o. barang yang telah diekspor untuk keperluan

perbaikan, pengerjaan, dan pengujian;

p. barang yang telah diekspor kemudian diimpor

kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas

pada saat diekspor;

q. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan

bahan penjenisan jaringan.

(2) Dihapus.

(3) Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan

peraturan menteri.

(4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang

pembebasan bea masuk yang ditetapkan menurut

Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang

terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa

denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen)

dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling

banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang

seharusnya dibayar.

39. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3),

dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 26 . . .

- 26 -

Pasal 26

(1) Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat

diberikan atas impor:

a. barang dan bahan untuk pembangunan dan

pengembangan industri dalam rangka penanaman

modal;

b. mesin untuk pembangunan dan pengembangan

industri;

c. barang dan bahan dalam rangka pembangunan

dan pengembangan industri untuk jangka waktu

tertentu;

d. peralatan dan bahan yang digunakan untuk

mencegah pencemaran lingkungan;

e. bibit dan benih untuk pembangunan dan

pengembangan industri pertanian, peternakan,

atau perikanan;

f. hasil laut yang ditangkap dengan sarana

penangkap yang telah mendapat izin;

g. barang yang mengalami kerusakan, penurunan

mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau

berat karena alamiah antara saat diangkut ke

dalam daerah pabean dan saat diberikan

persetujuan impor untuk dipakai;

h. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah

daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;

i. barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh

induk organisasi olahraga nasional;

j. barang untuk keperluan proyek pemerintah yang

dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar

negeri;

k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau

dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk

diekspor.

(2) Dihapus.

(3) Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan peraturan menteri.

(4) Orang . . .

- 27 -

(4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan

atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut

Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang

terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa

denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen)

dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling

banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang

seharusnya dibayar.

40. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 27

(1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau

sebagian bea masuk yang telah dibayar atas:

a. kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat

(3), atau karena kesalahan tata usaha;

b. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

25 dan Pasal 26;

c. impor barang yang oleh sebab tertentu harus

diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah

pengawasan pejabat bea dan cukai;

d. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan

impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang

sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar

bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan,

atau berkualitas lebih rendah; atau

e. kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan

Pengadilan Pajak.

(2) Ketentuan tentang pengembalian bea masuk

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

41. Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua)

ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30

(1) Importir bertanggung jawab atas bea masuk yang

terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas

impor.

(2) Bea . . .

- 28 -

(2) Bea masuk yang harus dibayar sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif

yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas

Impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 15.

(3) Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah.

(4) Ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang

digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea

masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

42. Ketentuan Pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu)

ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 32

(1) Pengusaha tempat penimbunan sementara

bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas

barang yang ditimbun di tempat penimbunan

sementara.

(2) Pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan

dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat

penimbunan sementaranya:

a. musnah tanpa sengaja;

b. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai,

atau diimpor sementara; atau

c. telah dipindahkan ke tempat penimbunan

sementara lain, tempat penimbunan berikat atau

tempat penimbunan pabean.

(3) Perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat

didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang

bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk

golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan

pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat

penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan

oleh pejabat bea dan cukai.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan

ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

43. Judul . . .

- 29 -

43. Judul BAB VII diubah sehingga BAB VII berbunyi sebagai

berikut:

BAB VII

PEMBAYARAN, PENAGIHAN UTANG,

DAN JAMINAN

44. Judul BAB VII Bagian Pertama diubah sehingga BAB VII

Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

Bagian Pertama

Pembayaran

45. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga

Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

(1) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang

terutang kepada negara menurut Undang-Undang ini,

dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain

yang ditunjuk oleh Menteri.

(2) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan

jumlahnya dalam ribuan rupiah.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran,

penerimaan, penyetoran bea masuk, denda

administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) serta pembulatan jumlahnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan peraturan menteri.

46. Ketentuan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah,

dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu)

ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 37

(1) Bea masuk yang terutang wajib dibayar paling lambat

pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean.

(2) Kewajiban . . .

- 30 -

(2) Kewajiban membayar bea masuk sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan

dalam hal pembayarannya ditetapkan secara berkala

atau menunggu keputusan pembebasan atau

keringanan.

(2a) Penundaan kewajiban membayar bea masuk

sebagaimana dimaksud pada ayat (2):

a. tidak dikenai bunga sepanjang pembayarannya

ditetapkan secara berkala;

b. dikenai bunga sepanjang permohonan pembebasan

atau keringanan ditolak.

(3) Ketentuan mengenai penundaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

47. Di antara Pasal 37 dan Bagian Kedua BAB VII disisipkan 1

(satu) pasal, yaitu Pasal 37A yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 37A

(1) Kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda

administrasi yang terutang wajib dibayar paling

lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan.

(2) Atas permintaan orang yang berutang, Direktur

Jenderal dapat memberikan persetujuan penundaan

atau pengangsuran kewajiban membayar bea masuk

dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) paling lama 12 (dua belas) bulan.

(3) Penundaan kewajiban membayar bea masuk dan/atau

denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap

bulan dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan.

(4) Ketentuan mengenai penundaan pembayaran utang

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

48. Ketentuan Pasal 38 diubah dengan menambah 1 (satu),

yaitu ayat (3) sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38 . . .

- 31 -

Pasal 38

(1) Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan

Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar

dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan

untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan

dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari

pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu)

bulan.

(2) Penghitungan utang atau tagihan kepada negara

menurut Undang-Undang ini dibulatkan jumlahnya

dalam ribuan rupiah.

(3) Jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

sebagai berikut:

a. dalam hal tagihan negara kepada pihak yang

terutang yaitu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal

penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A

ayat (1);

b. dalam hal tagihan pihak yang berpiutang kepada

negara yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat

keputusan pengembalian oleh Menteri.

49. Pasal 41 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 41

sehingga penjelasan Pasal 41 menjadi sebagaimana

ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal dalam

Undang-Undang ini.

50. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di

antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu

ayat (1a) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44

(1) Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat,

atau bangunan dapat ditetapkan sebagai tempat

penimbunan berikat dengan mendapatkan

penangguhan bea masuk untuk:

a. menimbun barang impor guna diimpor untuk

dipakai, dikeluarkan ke tempat penimbunan

berikat lainnya atau diekspor;

b. menimbun barang guna diolah atau digabungkan

sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;

c. menimbun . . .

- 32 -

c. menimbun barang impor, dengan atau tanpa

barang dari dalam daerah pabean, guna

dipamerkan;

d. menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual

barang impor kepada orang dan/atau orang

tertentu;

e. menimbun barang impor guna dilelang sebelum

diekspor atau diimpor untuk dipakai;

f. menimbun barang asal daerah pabean guna

dilelang sebelum diekspor atau dimasukkan

kembali ke dalam daerah pabean; atau

g. menimbun barang impor guna didaur ulang

sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

(1a) Menteri dapat menetapkan suatu kawasan,

tempat, atau bangunan untuk dilakukannya suatu

kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat penimbunan

berikat.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian

penyelenggaraan, pengusahaan, dan perubahan

bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut

dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

51. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 45

(1) Barang dapat dikeluarkan dari tempat penimbunan

berikat atas persetujuan pejabat bea dan cukai untuk:

a. diimpor untuk dipakai;

b. diolah;

c. diekspor sebelum atau sesudah diolah;

d. diangkut ke tempat penimbunan berikat lain atau

tempat penimbunan sementara;

e. dikerjakan dalam daerah pabean dan kemudian

dimasukkan kembali ke tempat penimbunan

berikat dengan persyaratan yang ditetapkan oleh

Menteri; atau

f. dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean.

(2) Barang . . .

- 33 -

(2) Barang dari tempat penimbunan berikat yang diimpor

untuk dipakai berupa:

a. barang yang telah diolah atau digabungkan;

b. barang yang tidak diolah; dan/atau

c. barang lainnya,

dipungut bea masuk berdasarkan tarif dan nilai

pabean yang ditetapkan dengan peraturan menteri.

(3) Orang yang mengeluarkan barang dari tempat

penimbunan berikat sebelum diberikan persetujuan

oleh pejabat bea dan cukai tanpa bermaksud

mengelakkan kewajiban pabean, dikenai sanksi

administrasi berupa denda sebesar Rp75.000.000,00

(tujuh puluh lima juta rupiah).

(4) Pengusaha tempat penimbunan berikat yang tidak

dapat mempertanggungjawabkan barang yang

seharusnya berada di tempat tersebut wajib membayar

bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi

administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus

persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

52. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 49

Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan

sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat,

pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha

pengangkutan wajib menyelenggarakan pembukuan.

53. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 50

(1) Atas permintaan pejabat bea dan cukai, orang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib

menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan

dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat

yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data

elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan

di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit

kepabeanan.

(2) Dalam . . .

- 34 -

(2) Dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyerahkan

laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang

menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan

dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik,

surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang

kepabeanan beralih kepada yang mewakili.

54. Ketentuan Pasal 51 diubah dan ditambah 3 (tiga) ayat,

yaitu ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sehingga Pasal 51

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51

(1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49

wajib diselenggarakan dengan baik agar

menggambarkan keadaan atau kegiatan usaha yang

sebenarnya, dan sekurang-kurangnya terdiri dari

catatan mengenai harta, kewajiban, modal,

pendapatan, dan biaya.

(2) Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia

dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, mata

uang rupiah, dan bahasa Indonesia, atau dengan mata

uang asing dan bahasa asing yang diizinkan oleh

menteri.

(3) Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang

menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan

dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik,

surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang

kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh)

tahun pada tempat usahanya di Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai pedoman penyelenggaraan

pembukuan diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan peraturan menteri.

55. Ketentuan Pasal 52 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat

sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52

(1) Orang yang tidak menyelenggarakan pembukuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai sanksi

administrasi berupa denda sebesar Rp50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah).

(2) Orang . . .

- 35 -

(2) Orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat (2), atau ayat

(3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar

Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)

56. Judul BAB X diubah sehingga BAB X berbunyi sebagai

berikut:

BAB X

LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR

ATAU EKSPOR, PENANGGUHAN IMPOR

ATAU EKSPOR BARANG HASIL

PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN

INTELEKTUAL, DAN PENINDAKAN ATAS

BARANG YANG TERKAIT DENGAN

TERORISME DAN/ATAU

KEJAHATAN LINTAS NEGARA

57. Ketentuan Pasal 53 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah

sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

(1) Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan

ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis

yang menetapkan peraturan larangan dan/atau

pembatasan atas impor atau ekspor wajib

memberitahukan kepada Menteri.

(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan

peraturan larangan dan/atau pembatasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

(3) Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak

memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika

telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean,

atas permintaan importir atau eksportir:

a. dibatalkan ekspornya;

b. diekspor kembali; atau

c. dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea

dan cukai

kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(4) Barang . . .

- 36 -

(4) Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor

atau diekspor yang tidak diberitahukan atau

diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai

barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud

ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundangundangan

yang berlaku.

58. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 54

Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek

atau hak cipta, ketua pengadilan niaga dapat

mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat bea dan

cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran

barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang

berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil

pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di

Indonesia.

59. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 56

Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai:

a. memberitahukan secara tertulis kepada importir,

eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya

perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan

ekspor;

b. melaksanakan penangguhan pengeluaran barang

impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan

pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah

tertulis ketua pengadilan niaga.

60. Ketentuan . . .

- 37 -

60. Ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga

Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

(1) Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk

jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat

diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh)

hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan

niaga.

(3) Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran

barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.

61. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 58

(1) Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas

merek atau hak cipta yang meminta perintah

penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi

izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna

memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta

penangguhan pengeluarannya.

(2) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga

setelah mendengarkan dan mempertimbangkan

penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik

barang impor atau ekspor yang dimintakan

penangguhan pengeluarannya.

62. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga Pasal 59 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 59 . . .

- 38 -

Pasal 59

(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1),

pejabat bea dan cukai tidak menerima pemberitahuan

dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran

bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk

mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan

dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang

secara tertulis perintah penangguhan, pejabat bea dan

cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan

pengeluaran barang impor atau ekspor yang

bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan

ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang

ini.

(2) Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan

hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dalam jangka

waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan

pengeluaran barang impor atau ekspor wajib

secepatnya melaporkannya kepada pejabat bea dan

cukai yang menerima perintah dan melaksanakan

penangguhan barang impor atau ekspor.

(3) Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) telah diberitahukan dan ketua

pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis

perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 57 ayat (2), pejabat bea dan cukai mengakhiri

tindakan penangguhan pengeluaran barang impor

atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya

sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan

Undang-Undang ini.

63. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 60 . . .

- 39 -

Pasal 60

Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik

barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan

kepada ketua pengadilan niaga untuk memerintahkan

secara tertulis kepada pejabat bea dan cukai agar

mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.

64. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 61

(1) Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa

barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan

atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau

hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak

untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau

pemegang hak yang meminta penangguhan

pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut.

(2) Pengadilan niaga yang memeriksa dan memutus

perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai

pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang

harus dibayarkan.

65. Di antara Pasal 64 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bagian,

yaitu Bagian Ketiga yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga

Penindakan Atas Barang yang Terkait dengan

Terorisme dan/atau Kejahatan Lintas Negara

Pasal 64A

(1) Barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga

terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan

lintas negara dapat dilakukan penindakan oleh pejabat

bea dan cukai.

(2) Ketentuan . . .

- 40 -

(2) Ketentuan mengenai tata cara penindakan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

66. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah sehingga Pasal 75

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75

(1) Pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan

pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut atau

di sungai menggunakaan kapal patroli atau sarana

lainnya.

(2) Kapal patroli atau sarana lain yang digunakan oleh

pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang

jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan peraturan

pemerintah.

67. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga Pasal 76 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 76

(1) Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-

Undang ini pejabat bea dan cukai dapat meminta

bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Tentara

Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya.

(2) Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional

Indonesia, dan/atau instansi lainnya berkewajiban

untuk memenuhinya.

68. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 78

Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci,

menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang

diperlukan terhadap barang impor yang belum diselesaikan

kewajiban pabeannya dan barang ekspor atau barang lain

yang harus diawasi menurut Undang-Undang ini yang

berada di sarana pengangkut, tempat penimbunan atau

tempat lain.

69. Ketentuan . . .

- 41 -

69. Ketentuan Pasal 82 ayat (4) dihapus dan ayat (1), ayat (3),

ayat (5), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 82 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 82

(1) Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan

pemeriksaan pabean atas barang impor atau barang

ekspor setelah pemberitahuan pabean diserahkan.

(2) Pejabat bea dan cukai berwenang meminta importir,

eksportir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan

sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat,

atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk

diperiksa, membuka sarana pengangkut atau

bagiannya, dan membuka setiap bungkusan atau

pengemas yang akan diperiksa.

(3) Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak dipenuhi:

a. pejabat bea dan cukai berwenang melakukan

tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas

risiko dan biaya yang bersangkutan; dan

b. yang bersangkutan dikenai sanksi administrasi

berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh

lima juta rupiah).

(4) Dihapus.

(5) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis

dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan

pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan

pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi

berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen)

dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling

banyak 1.000% (seribu persen) dari bea masuk yang

kurang dibayar.

(6) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis

dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan

pabean atas ekspor yang mengakibatkan tidak

terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor

dikenai sanksi administrasi berupa denda paling

sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di

bidang ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak

1.000% (seribu persen) dari pungutan negara di

bidang ekspor yang kurang dibayar.

70. Di antara . . .

- 42 -

70. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan satu pasal,

yaitu Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82A

(1) Untuk kepentingan pengawasan, pejabat bea dan

cukai berwenang melakukan pemeriksaan karena

jabatan atas fisik barang impor atau barang ekspor

sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean

disampaikan.

(2) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan peraturan menteri.

71. Ketentuan Pasal 85 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu)

ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 85

(1) Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan

impor atau ekspor setelah pemberitahuan pabean yang

telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil

pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan

pemberitahuan pabean.

(2) Pejabat bea dan cukai berwenang menunda

pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal

pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan.

(3) Pejabat bea dan cukai berwenang menolak

memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang

yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban

kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.

72. Di antara Pasal 85 dan BAB XII Paragraf 2 disisipkan 1

(satu) pasal, yaitu Pasal 85A yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 85A

(1) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, pejabat bea dan cukai dapat melakukan

pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu yang

diangkut dalam daerah pabean.

(2) Pemeriksaan . . .

- 43 -

(2) Pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan

pada saat pemuatan, pengangkutan, dan/atau

pembongkaran di tempat tujuan.

(3) Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean terhadap

barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan

menteri.

73. Ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di

antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu

ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3)

sehingga Pasal 86 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86

(1) Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit

kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 49.

(1a) Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai

berwenang:

a. meminta laporan keuangan, buku, catatan dan

dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan,

surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha

termasuk data elektronik, serta surat yang

berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan;

b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari

orang dan pihak lain yang terkait;

c. memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan

tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku,

catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar

pembukuan, dan surat-surat yang berkaitan

dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media

penyimpan data elektronik, dan barang yang dapat

memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha

yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan; dan

d. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang

perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan

dokumen yang berkaitan dengan kegiatan

kepabeanan.

(2) Orang . . .

- 44 -

(2) Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang

menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat

menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai

sanksi administrasi berupa denda sebesar

Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan audit

kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan

menteri.

74. Di antara Pasal 86 dan Paragraf 3 disisipkan 1 (satu)

pasal, yaitu Pasal 86A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86A

Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan

adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang

disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah

dan/atau jenis barang, orang wajib membayar bea masuk

yang kurang dibayar dan dikenai sanksi administrasi

berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat

(5).

75. Ketentuan Pasal 88 ayat (2) diubah sehingga Pasal 88

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88

(1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan

Undang-Undang ini, pejabat bea dan cukai berwenang

memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat

yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksud

dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang

yang ditemukan.

(2) Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas

permintaan pejabat bea dan cukai, pemilik atau yang

menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib

menyerahkan surat atau dokumen yang berkaitan

dengan barang yang berada di tempat tersebut.

76. Ketentuan . . .

- 45 -

76. Ketentuan Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga

Pasal 90 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90

(1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan

Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai berwenang

untuk menghentikan dan memeriksa sarana

pengangkut serta barang di atasnya.

(2) Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum

lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pejabat bea dan cukai berdasarkan pemberitahuan

pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat

(3) berwenang untuk menghentikan pembongkaran

barang dari sarana pengangkut apabila ternyata

barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan

ketentuan yang berlaku.

(4) Orang yang tidak melaksanakan perintah penghentian

pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar

Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

77. Di antara Pasal 92 dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bagian,

yaitu Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat

Kewenangan Khusus Direktur Jenderal

Pasal 92A

(1) Direktur Jenderal karena jabatan atau atas

permohonan dari orang yang bersangkutan dapat:

a. membetulkan surat penetapan tagihan

kekurangan pembayaran bea masuk yang dalam

penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan

hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan

ketentuan Undang-Undang ini; atau

b. mengurangi atau menghapus sanksi administrasi

berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan

pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan

atau bukan karena kesalahannya.

(2) Ketentuan . . .

- 46 -

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan,

pembetulan, pengurangan, atau penghapusan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

78. Judul BAB XIII diubah sehingga BAB XIII berbunyi sebagai

berikut:

BAB XIII

KEBERATAN DAN BANDING

79. Ketentuan Pasal 93 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan

ayat (5) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2)

disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta ditambah 1

(satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 93 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 93

(1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan

pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai

pabean untuk penghitungan bea masuk dapat

mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada

Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari

sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan

jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar.

(1a) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

wajib diserahkan dalam hal barang impor belum

dikeluarkan dari kawasan pabean.

(2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka

waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya

pengajuan keberatan.

(3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan

untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi

administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan

apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan.

(4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur

Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan

yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan

dikembalikan.

(5) Apabila . . .

- 47 -

(5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa uang tunai dan pengembalian jaminan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)

dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari

sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan

bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling

lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(6) Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

80. Di antara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 1 (satu) pasal,

yaitu Pasal 93A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93A

(1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat

bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean

untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan

keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur

Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak

tanggal penetapan.

(2) Sepanjang keberatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) menyangkut kekurangan pembayaran bea

masuk, jaminan wajib diserahkan sebesar tagihan

yang harus dibayar.

(3) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

wajib diserahkan dalam hal barang impor belum di

keluarkan dari kawasan pabean.

(4) Direktur Jenderal memutuskan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka

waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya

pengajuan keberatan.

(5) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan

untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi

administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan

apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan.

(6) Apabila . . .

- 48 -

(6) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur

Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan

yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan

dikembalikan.

(7) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa uang tunai dan pengembalian jaminan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)

dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari

sejak keberatan diterima, pemerintah memberikan

bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling

lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(8) Ketentuan mengenai pengajuan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

81. Ketentuan Pasal 94 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat,

yaitu ayat (6) sehingga Pasal 94 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94

(1) Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa

denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis

hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu

60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan

menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi

berupa denda yang ditetapkan.

(2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka

waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya

pengajuan keberatan.

(3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan

untuk membayar sanksi administrasi berupa denda

yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan,

jaminan dikembalikan.

(4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur

Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan

yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan

dikembalikan.

(5) Apabila . . .

- 49 -

(5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa uang tunai dan pengembalian jaminan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)

dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari

sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan

bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling

lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(6) Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

82. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 95

Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur

Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur

Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2),

Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat

mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan

Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak

tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah

pungutan yang terutang dilunasi.

83. Pasal 96 dihapus.

84. Pasal 97 dihapus.

85. Pasal 98 dihapus.

86. Pasal 99 dihapus.

87. Pasal 100 dihapus.

88. Pasal 101 dihapus.

89. Ketentuan BAB XIII Bagian Kedua dihapus.

90. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga Pasal 102 berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 102 . . .

- 50 -

Pasal 102

Setiap orang yang:

a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam

manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);

b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean

atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean;

c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam

pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7A ayat (3);

d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih

dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat

tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan;

e. menyembunyikan barang impor secara melawan

hukum;

f. mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan

kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari

tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di

bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat

bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya

pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini;

g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan

sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak

sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat

membuktikan bahwa hal tersebut di luar

kemampuannya; atau

h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah

barang impor dalam pemberitahuan pabean secara

salah,

dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang

impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah).

91. Di antara Pasal 102 dan Pasal 103 disisipkan 4 (empat)

pasal, yaitu Pasal 102A, Pasal 102B, Pasal 102C, dan Pasal

102D yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102A . . .

- 51 -

Pasal 102A

Setiap orang yang:

a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan

pabean;

b. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah

barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara

salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat

(1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan

negara di bidang ekspor;

c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa

izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11A ayat (3);

d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean

tanpa izin kepala kantor pabean; atau

e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan

dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan

pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1)

dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang

ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah).

Pasal 102B

Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan

Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendisendi

perekonomian negara dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar

rupiah).

Pasal 102C . . .

- 52 -

Pasal 102C

Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur

dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B dilakukan oleh

pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang

dijatuhkan dengan pidana sebagaimana ancaman pidana

dalam Undang-Undang ini ditambah 1/3 (satu pertiga).

Pasal 102D

Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak

sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat

membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.00

(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

92. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 103

Setiap orang yang:

a. menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau

dokumen pelengkap pabean yang palsu atau

dipalsukan;

b. membuat, menyetujui, atau turut serta dalam

pemalsuan data ke dalam buku atau catatan;

c. memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak

benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban

pabean; atau

d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual,

menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor

yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)

tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun

dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00

(seratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

93. Di antara . . .

- 53 -

93. Di antara Pasal 103 dan Pasal 104 disisipkan 1 (satu)

pasal, yaitu Pasal 103A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103A

(1) Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem

elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau

pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima

puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara

berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan/atau pidana denda paling sedikit

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling

banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

94. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 104

Setiap orang yang:

a. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A,

atau Pasal 102B;

b. memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau

membuang buku atau catatan yang menurut Undang-

Undang ini harus disimpan;

c. menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam

penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean,

dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau

d. menyimpan . . .

- 54 -

d. menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur

dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar

negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai

kelengkapan pemberitahuan pabean menurut Undang-

Undang ini

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun, dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun

dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

95. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 105

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak

membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda

pengaman yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun

dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

96. Pasal 106 dihapus.

97. Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan pasal 107

sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana

ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-

Undang ini.

98. Ketentuan Pasal 108 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga

Pasal 108 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108

(1) Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana

menurut Undang-Undang ini dilakukan oleh atau atas

nama suatu badan hukum, perseroan atau

perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi,

tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana

dijatuhkan kepada:

a. badan . . .

- 55 -

a. badan hukum, perseroan atau perusahaan,

perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut;

dan/atau

b. mereka yang memberikan perintah untuk

melakukan tindak pidana tersebut atau yang

bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan

pencegahannya.

(2) Tindak pidana menurut Undang-Undang ini dilakukan

juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan

atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau

koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan

oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan

kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak

dalam lingkungan badan hukum, perseoran atau

perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi

tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut

masing-masing telah melakukan tindakan secara

sendiri-sendiri atau bersama-sama.

(3) Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan

terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan,

perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu

penuntutan diwakili oleh pengurus yang secara

hukum dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai

bentuk badan hukum yang bersangkutan.

(4) Terhadap badan hukum, perseroan atau

perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi

yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang

dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling

banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus

juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam

dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan

pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut

diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.

99. Ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di

antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu

ayat (2a) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109 . . .

- 56 -

Pasal 109

(1) Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal

102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a,

barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal

102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana,

dirampas untuk negara.

(2) Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan

untuk melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas

untuk negara.

(2a) Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

102D, dapat dirampas untuk negara.

(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana

diatur dalam Pasal 73.

100. Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab,

yaitu BAB XV A sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XV A

PEMBINAAN PEGAWAI

Pasal 113A

(1) Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai terikat pada kode etik yang menjadi

pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini.

(2) Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh

Komisi Kode Etik.

(3) Ketentuan mengenai kode etik diatur lebih lanjut

dengan peraturan menteri.

(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata

kerja Komisi Kode Etik diatur lebih lanjut dengan

peraturan menteri.

Pasal 113B . . .

- 57 -

Pasal 113B

Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau

menetapkan bea masuk atau bea keluar tidak sesuai

dengan Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan

belum terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan

cukai dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 113C

(1) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana kepabeanan

yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa

internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk

melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan

bukti permulaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Pasal 113D

(1) Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit

kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran

kepabeanan berhak memperoleh premi.

(2) Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50%

(lima puluh persen) dari sanksi administrasi berupa

denda dan/atau hasil lelang barang yang berasal dari

tindak pidana kepabeanan.

(3) Dalam hal hasil tangkapan merupakan barang yang

dilarang dan/atau dibatasi yang menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku tidak boleh

dilelang, besar nilai barang sebagai dasar perhitungan

premi ditetapkan oleh Menteri.

(4) Ketentuan mengenai pemberian premi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut

dengan peraturan menteri.

101. Di antara Pasal 115 dan BAB XVII disisipkan 3 (tiga) pasal,

yaitu Pasal 115A, Pasal 115B, dan Pasal 115C yang

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 115A . . .

- 58 -

Pasal 115A

(1) Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan

dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk

sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau

pelabuhan bebas dapat diawasi oleh Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan lebih lanjut dengan atau berdasarkan

peraturan pemerintah.

Pasal 115B

(1) Berdasarkan permintaan masyarakat, Direktur

Jenderal memberikan informasi yang dikelolanya,

kecuali informasi yang sifatnya tertentu.

(2) Ketentuan mengenai pemberian informasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan peraturan menteri.

Pasal 115C

(1) Setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

dilarang memberitahukan segala sesuatu yang

diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh

orang dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk

menjalankan ketentuan Undang-Undang ini kepada

pihak lain yang tidak berhak.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh

Direktur Jenderal untuk membantu pelaksanaan

ketentuan Undang-Undang ini.

(3) Menteri secara tertulis berwenang memerintahkan

pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga

ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

agar memberikan keterangan dan memperlihatkan

bukti dari orang kepada pejabat pemeriksa untuk

keperluan pemeriksaan keuangan negara.

(4) Untuk . . .

- 59 -

(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam

perkara pidana, atas permintaan hakim sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 180 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menteri

dapat memberi izin tertulis kepada pegawai Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk

memberikan bukti dan keterangan yang ada padanya

kepada hakim.

Pasal II

Ketentuan Peralihan

1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang

kepabeanan tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dan/atau belum diatur dengan

peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan

Undang-Undang ini;

b. urusan kepabeanan yang pada saat berlakunya

Undang-Undang ini belum dapat diselesaikan,

penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan

perundang-undangan di bidang kepabeanan yang

meringankan setiap orang.

2. Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan

Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu)

tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

3. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

Agar . . .

- 60 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 15 Nopember 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 15 Nopember 2006

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 93

Salinan sesuai dengan aslinya,

SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Perekonomian dan Industri,

M. SAPTA MURTI, SH., MA, MKn

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 17 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995

TENTANG KEPABEANAN

I. UMUM

Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan

masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam

dunia usaha. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

(DJBC) yang berfungsi sebagai fasilitasi perdagangan harus dapat membuat

suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam

masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang

lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan, masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana

penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa “Barangsiapa

yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau

mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini

dipidana karena melakukan penyelundupan”, kurang tegas karena dalam

penjelasan dinyatakan bahwa pengertian "tanpa mengindahkan" adalah

sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur. Hal ini berarti jika

memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan

pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikategorikan sebagai

penyelundupan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh

karenanya dipandang perlu untuk merumuskan kembali tindakantindakan

yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan secara

eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan DJBC adalah melakukan

pengawasan atas lalulintas barang yang masuk atau keluar daerah

pabean, namun mengingat letak geografis Indonesia sebagai negara

kepulauan yang lautnya berbatasan langsung dengan negara tetangga,

maka perlu dilakukan pengawasan terhadap pengangkutan barang yang

diangkut melalui laut di dalam daerah pabean untuk menghindari

penyelundupan dengan modus pengangkutan antar pulau, khususnya

untuk barang tertentu. Secara implisit dapat dikatakan bahwa

pengawasan . . .

- 2 -

pengawasan pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean

merupakan perpanjangan kewenangan atau bagian yang tidak terpisahkan

dari kewenangan pabean sebagai salah satu instansi pengawas perbatasan.

Sehubungan dengan hal tersebut masyarakat memandang perlu untuk

memberikan kewenangan kepada DJBC untuk mengawasi pengangkutan

barang tertentu yang diusulkan oleh instansi teknis terkait.

Tempat Penimbunan Berikat (TPB) sebagai bentuk insentif di bidang

kepabeanan yang selama ini diberikan, tidak dapat menampung tuntutan

investor luar negeri untuk dapat melakukan pelelangan, daur ulang, dan

kegiatan lain karena adanya pembatasan tujuan TPB hanya untuk

menimbun barang impor untuk diolah, dipamerkan, dan/atau disediakan

untuk dijual. Untuk menghindari beralihnya investasi ke negara-negara

tetangga serta sebagai daya tarik bagi investor asing perlu diberikan suatu

insentif, kepastian hukum, dan kepastian berusaha dengan perluasan

fungsi TPB.

Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, Undang-Undang

kepabeanan idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan praktek

kepabeanan internasional sehingga perlu melakukan penyesuaian Undang-

Undang kepabeanan Indonesia dengan menambahkan atau mengubah

ketentuan sesuai dengan konvensi tersebut.

Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995

tentang Kepabeanan, mengatur lembaga banding. Namun ternyata lembaga

tersebut belum dibentuk dengan pertimbangan telah dibentuk badan

penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang kemudian

diganti dengan Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kompetensi pengadilan pajak

mencakup banding di bidang kepabeanan sehingga Pasal 96 sampai dengan

Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

tidak diperlukan lagi dan dihapus.

Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VII of General

Agreement on Trade and Tariff (GATT) 1994, Article 22 menyebutkan bahwa

perundang-undangan nasional harus memuat ketentuan penetapan nilai

pabean sesuai World Trade Organization (WTO) Valuation Agreement. Dalam

Article 4 Konvensi tersebut diatur bahwa metode komputasi dapat

digunakan mendahului metode deduksi atas permintaan importir.

Indonesia telah menggunakan kesempatan untuk menunda pelaksanaan

Article 4 Konvensi tersebut selama 5 (lima) tahun yang berakhir pada tahun

2000, sehingga ketentuan penetapan nilai pabean sesuai Article 4 Konvensi

tersebut harus dimasukkan dalam perubahan Undang-Undang Kepabeanan

ini.

II. PASAL DEMI PASAL . . .

- 3 -

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup Jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Ayat ini memberikan penegasan pengertian impor secara yuridis,

yaitu pada saat barang memasuki daerah pabean dan menetapkan

saat barang tersebut terutang bea masuk serta merupakan dasar

yuridis bagi pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan.

Ayat (2)

Ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian ekspor. Secara

nyata ekspor terjadi pada saat barang melintasi daerah pabean,

namun mengingat dari segi pelayanan dan pengamanan tidak

mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang garis

perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan

pengawasan barang ekspor, maka secara yuridis ekspor dianggap

telah terjadi pada saat barang tersebut telah dimuat di sarana

pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean.

Yang dimaksud dengan sarana pengangkut, yaitu setiap kendaraan,

pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk

mengangkut barang atau orang.

Yang dimaksud dimuat yaitu dimasukkannya barang ke dalam

sarana pengangkut dan telah diajukan pemberitahuan pabean

termasuk dipenuhinya pembayaran bea keluar.

Ayat (3)

Ayat ini memberikan penegasan bahwa walaupun barang tersebut

telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar

daerah pabean, jika dapat dibuktikan barang tersebut akan

dibongkar di dalam daerah pabean dengan menyerahkan suatu

pemberitahuan pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai

barang ekspor.

Pasal 2A

Pengenaan bea keluar dalam pasal ini dimaksudkan untuk

melindungi kepentingan nasional, bukan untuk membebani daya

saing komoditi ekspor di pasar internasional.

Pasal 3 . . .

- 4 -

Pasal 3

Ayat (1)

Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai

pemberitahuan pabean yang diajukan terhadap barang impor

dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk penelitian terhadap

dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan dalam daerah

pabean oleh pejabat bea dan cukai secara selektif dengan

mempertimbangkan risiko yang melekat pada barang dan importir.

Namun, dengan mempertimbangkan kelancaran arus barang

dan/atau pengamanan penerimaan negara, Menteri dapat

menetapkan pelaksanaan pemeriksaan pabean di luar daerah

pabean oleh pejabat bea dan cukai atau pihak lain yang bertindak

untuk dan atas nama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 4

Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan di dalam daerah

pabean oleh pejabat bea dan cukai.

Dalam rangka mendorong ekspor, terutama dalam kaitannya dengan

upaya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di

pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi eksportir.

Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan

fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal mungkin

sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan

penelitian terhadap dokumennya.

Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai

pemberitahuan pabean yang diajukan, pasal ini memberikan

kewenangan kepada menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat

mengatur tata cara pemeriksaan fisik atas barang ekspor.

Pasal 4A

Ayat (1)

Pengawasan pengangkutan barang tertentu sebagaimana dimaksud

pada ayat ini hanya dilakukan terhadap pengangkutan barang

tersebut dari satu tempat ke tempat lain dalam daerah pabean yang

dilakukan melalui laut.

Pengawasan . . .

- 5 -

Pengawasan pengangkutan barang tertentu ini bertujuan untuk

mencegah penyelundupan ekspor dengan modus pengangkutan

antarpulau barang-barang strategis seperti hasil hutan, hasil

tambang, atau barang yang mendapat subsidi.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan instansi teknis terkait yaitu kementerian

atau lembaga pemerintah nondepartemen yang berwenang.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Dilihat dari keadaan geografis Negara Republik Indonesia yang

demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak

mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang pantai

untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang

dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi ketentuan yang telah

ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban

pabean hanya dapat dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa

pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean

maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di

suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti

terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini.

Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat

untuk memenuhi kewajiban pabean seperti penyerahan

pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah dibatasi

dengan penunjukan kantor pabean yang disesuaikan dengan

kebutuhan perdagangan.

Pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean

dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan

ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan

perekonomian, atau apabila dengan cara tersebut kewajiban pabean

dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah.

Pemberian kemudahan berupa pemenuhan kewajiban pabean di

tempat selain di kantor pabean tersebut bersifat sementara.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3) . . .

- 6 -

Ayat (3)

Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas

barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan

keuangan negara, Undang-Undang ini menetapkan adanya kawasan

pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang

sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean.

Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat

pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut

merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak

dapat dipenuhi kewajiban pabean.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 5A

Ayat (1)

Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi

yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang

diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau

diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau

perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang

sejenis.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Ayat ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan

dengan penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor atau

ekspor harus didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang ini

yang pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal

Bea dan Cukai.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 6A . . .

- 7 -

Pasal 6A

Ayat (1)

Dengan semakin berkembangnya penggunaan teknologi informasi

dalam kegiatan kepabeanan, diperlukan adanya sarana untuk

mengenali pengguna jasa kepabeanan melalui nomor identitas

pribadi yang diberikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan

nomor identitas pribadi itu dimaksudkan bahwa hanya orang yang

memiliki nomor identitas tersebut yang dapat mengakses atau

berhubungan dengan sistem teknologi informasi kepabeanan.

Pemerolehan nomor identitas tersebut dapat dilakukan dengan cara

registrasi, misalnya registrasi importir, eksportir, dan pengusaha

pengurusan jasa kepabeanan.

Ayat (2)

Pengecualian yang dimaksud pada ayat ini diberikan kepada orang

yang menyelesaikan kewajiban pabean tertentu antara lain atas

barang penumpang, barang diplomatik, atau barang kiriman melalui

pos atau perusahaan jasa titipan.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 7A

Ayat (1)

Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi pengangkut untuk

memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkutnya

sebelum sarana pengangkut tiba di kawasan pabean, baik terhadap

sarana pengangkut yang melakukan kegiatannya secara reguler (liner)

maupun sarana pengangkut yang tidak secara teratur berada di

kawasan pabean (tramper). Hal ini dimaksudkan untuk lebih

meningkatkan pengawasan pabean atas barang impor dan/atau

barang ekspor.

Yang dimaksud dengan saat kedatangan sarana pengangkut yaitu:

a. saat lego jangkar di perairan pelabuhan untuk sarana

pengangkut melalui laut;

b. saat mendarat di landasan bandar udara untuk sarana

pengangkut melalui udara.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan manifes yaitu daftar barang niaga yang

dimuat dalam sarana pengangkut.

Ayat (3) . . .

- 8 -

Ayat (3)

Pemberitahuan pabean pada ayat ini berisi informasi tentang semua

barang niaga yang diangkut dengan sarana pengangkut, baik barang

impor, barang ekspor, maupun barang asal daerah pabean yang

diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah

pabean.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Ketentuan mengenai berlabuh pada ayat ini dihitung sejak

kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada

penjelasan ayat (1).

Ayat (6)

Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan

pemberitahuan pabean tentang kedatangan sarana pengangkut.

Akan tetapi, jika sarana pengangkut mengalami keadaan darurat

seperti mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat

diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain yang terjadi di

luar kemampuan manusia dapat diadakan pengecualian dengan

melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu

tentang kedatangan sarana pengangkut.

Huruf a.

Yang dimaksud dengan kantor pabean terdekat yaitu kantor

pabean yang paling mudah dicapai.

Melaporkan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan radio

panggil, telepon, atau faksimile.

Huruf b

Cukup Jelas.

Ayat (7)

Cukup Jelas.

Ayat (8)

Cukup Jelas.

Ayat (9)

Cukup Jelas.

Pasal 8A . . .

- 9 -

Pasal 8A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pengangkutan pada ayat ini yaitu

pengangkutan barang impor yang tidak melalui laut (inland

transportation).

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengusaha pada ayat ini yaitu pengusaha

tempat penimbunan sementara atau pengusaha tempat

penimbunan berikat.

Yang dimaksud dengan importir yaitu orang yang mengimpor.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 8B

Ayat (1)

Mengingat tenaga listrik, barang cair, atau gas bersifat khusus,

pengangkutan terhadap barang tersebut dilakukan dengan cara

khusus antara lain melalui transmisi atau saluran pipa.

Pemberitahuan pabean atas impor atau ekspor barang tersebut harus

didasarkan pada jumlah dan jenis barang pada saat pengukuran di

tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean.

Ayat (2)

Peranti lunak (software) dapat berupa serangkaian program dalam

sistem komputer yang memerintahkan komputer apa yang harus

dilakukan.

Peranti lunak dan data elektronik (softcopy) merupakan barang yang

menjadi objek dari Undang-Undang ini dan pengangkutan atau

pengirimannya dapat dilakukan melalui transmisi elektronik

misalnya melalui media internet.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 8C

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2) . . .

- 10 -

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan dokumen yang sah yaitu dokumen yang

dipersyaratkan dalam pengangkutan barang tertentu.

Ayat (3)

Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap kelebihan

atau kekurangan barang tertentu pada saat pengangkutan atau

pembongkaran.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Pasal 9A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan barang impor yaitu barang impor baik yang

diangkut lanjut maupun yang diangkut terus.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 10A

Ayat (1)

Pembongkaran di tempat lain dilakukan dengan memperhatikan

teknis pembongkaran atau sebab lain atas pertimbangan kepala

kantor pabean, misalnya sarana pengangkut tidak dapat sandar di

dermaga atau alat bongkar tidak tersedia.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pembongkaran pada ayat ini yaitu

pembongkaran barang dari sarana pengangkut yang satu ke sarana

pengangkut lainnya, dilakukan di pelabuhan yang belum dapat

disandari langsung sehingga pembongkaran dilakukan di luar

pelabuhan (reede).

Yang dimaksud dengan jalur yang ditetapkan yaitu jalur yang harus

dilalui oleh sarana pengangkut yang meneruskan pengangkutan

dari reede ke kantor pabean.

Ayat (3) . . .

- 11 -

Ayat (3)

Kewajiban pada ayat ini yang harus dilakukan oleh pengangkut atau

kuasanya yaitu memberitahukan kedatangan sarana pengangkut

dengan pemberitahuan pabean kepada pejabat bea dan cukai dan

dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang impor

yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa

barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang

dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam

pemberitahuan pabean, pengangkut berdasarkan ketentuan pada

ayat ini dianggap telah memasukkan barang impor tersebut ke

peredaran bebas sehingga selain wajib membayar bea masuk atas

barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi

administrasi berupa denda, jika yang bersangkutan tidak dapat

membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar tersebut

bukan karena kesalahannya.

Dalam hal barang yang diangkut dalam kemasan, yang dimaksud

dengan jumlah barang yaitu jumlah kemasan.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa penimbunan barang di tempat

penimbunan sementara bukan merupakan keharusan karena

penimbunan tersebut hanya dilakukan dalam hal barang tidak dapat

dikeluarkan dengan segera.

Ayat (6)

Yang dimaksud dalam hal tertentu yaitu apabila penimbunan di

tempat penimbunan sementara tidak dapat dilakukan seperti

kongesti, kendala teknis penimbunan, sifat barang, atau sebab lain

sehingga tidak memungkinkan barang impor ditimbun. Termasuk

dalam pengertian ini yaitu pemberian fasilitas penimbunan selain di

tempat penimbunan sementara dengan tujuan untuk menghindari

beban biaya penumpukan yang mungkin atau yang telah timbul

selama dalam proses pemenuhan kewajiban pabean.

Ketentuan yang berlaku pada tempat penimbunan sementara berlaku

di tempat lain yang dimaksud pada ayat ini.

Ayat (7)

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b . . .

- 12 -

Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Cukup Jelas.

Huruf d

Cukup Jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan barang diangkut terus yaitu barang

yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor

pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dulu.

Yang dimaksud dengan barang diangkut lanjut yaitu barang

yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor

pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu.

Huruf f

Yang dimaksud dengan diekspor kembali antara lain:

1) pengiriman kembali barang impor keluar daerah pabean

karena ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan;

2) oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak

boleh diimpor ke dalam daerah pabean.

Ayat (8)

Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud untuk

mengelakkan pembayaran bea masuk, karena telah diajukan

pemberitahuan pabean dan bea masuknya telah dilunasi, akan tetapi

karena pengeluarannya tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai,

atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Ayat (9)

Cukup Jelas.

Pasal 10B

Ayat (1)

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b

Cukup Jelas

Ayat (2)

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b . . .

- 13 -

Huruf b

Ketentuan ini memungkinkan importir yang memenuhi

persyaratan, untuk mengeluarkan barang impor untuk dipakai

sebelum melunasi bea masuk yang terutang dengan

menyerahkan jaminan. Namun, importir wajib menyelesaikan

kewajibannya dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut

Undang-Undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan

untuk memperlancar arus barang.

Huruf c

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan penumpang yaitu setiap orang yang melintasi

perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut,

tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas.

Yang dimaksud dengan awak sarana pengangkut yaitu setiap orang

yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana

pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut.

Yang dimaksud dengan pelintas batas yaitu penduduk yang berdiam

atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta

memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang

berwenang dan yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah

perbatasan melalui pos pengawas lintas batas.

Yang dimaksud dengan diberitahukan yaitu menyampaikan

pemberitahuan secara lisan atau tertulis.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan persetujuan pejabat bea dan cukai yaitu

penetapan pejabat bea dan cukai yang menyatakan bahwa barang

tersebut telah dipenuhi kewajiban pabean berdasarkan Undang-

Undang ini.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Ayat (6)

Ketentuan pada ayat ini mengatur tentang pengenaan sanksi

administrasi berupa denda kepada importir yang memperoleh

kemudahan berdasarkan ketentuan pada ayat (2) huruf b atau huruf

c, yaitu mengimpor barang untuk dipakai sebelum melunasi bea

masuk dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak menyelesaikan

kewajiban untuk membayar bea masuk menurut jangka waktu yang

ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 10C . . .

- 14 -

Pasal 10C

Ayat (1)

Kekhilafan yang nyata adalah kesalahan atau kekeliruan yang

bersifat manusiawi dalam suatu pemberitahuan pabean yang sering

terjadi dalam bentuk kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau

kesalahan penerapan peraturan yang seharusnya tidak perlu terjadi,

dan tidak mengandung persengketaan antara pejabat bea dan cukai

dengan pengguna jasa kepabeanan, misalnya:

- kesalahan tulis berupa kesalahan penulisan nama atau alamat;

- kesalahan hitung berupa kesalahan perhitungan bea masuk atau

pajak;

- kesalahan penerapan aturan berupa ketidaktahuan adanya

perubahan peraturan, sering terjadi pada awal berlakunya

peraturan baru.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Penetapan pejabat bea dan cukai dapat juga merupakan

penetapan dengan menggunakan sistem komputer pelayanan.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 10D

Ayat (1)

Tujuan pengaturan impor sementara yaitu memberikan kemudahan

atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu, misalnya barang

perlombaan; kendaraan yang dibawa oleh wisatawan; peralatan

penelitian; peralatan yang digunakan oleh teknisi, wartawan, dan

tenaga ahli; kemasan yang dipakai berulang-ulang; dan barang

keperluan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat

pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor

kembali.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3) . . .

- 15 -

Ayat (3)

Mengingat pemasukannya hanya untuk sementara, barang-barang

tersebut diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan terlambat yaitu barang tersebut telah selesai

dipergunakan sesuai dengan jangka waktu yang diizinkan, tetapi

yang bersangkutan tidak mengurus administrasi kepabeanannya

sampai dengan tanggal jatuh tempo.

Perhitungan bea masuk pada ayat ini dihitung berdasarkan tarif dan

nilai pabean pada saat pengajuan pemberitahuan pabean atas impor

sementara tersebut.

Ayat (6)

Cukup Jelas.

Ayat (7)

Cukup Jelas.

Pasal 11A

Ayat (1)

Pemberitahuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk

melakukan pengawasan terhadap barang yang akan dikeluarkan

dari daerah pabean.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan dibatalkan yaitu dibatalkan seluruhnya atau

sebagian.

Ayat (6)

Cukup Jelas.

Ayat (7) . . .

- 16 -

Ayat (7)

Cukup Jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Ayat ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk

menetapkan tarif bea masuk yang besarnya berbeda dengan tarif

yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

Huruf a

Tarif bea masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau

kesepakatan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia

dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara lain,

misalnya bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential

Tariff for Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA).

huruf b

Dalam rangka mempermudah dan mempercepat penyelesaian

impor barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut,

pelintas batas, dan barang kiriman melalui pos atau jasa titipan,

dapat dikenakan bea masuk berdasarkan tarif yang berbeda

dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),

misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu,

mengingat barang-barang yang dibawa oleh para penumpang,

awak sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya

terdiri dari beberapa jenis.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan sistem klasifikasi barang dalam pasal ini

yaitu suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara

sistematis dengan tujuan untuk mempermudah penarifan,

transaksi perdagangan, pengangkutan, dan statistik.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 15 . . .

- 17 -

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan nilai transaksi yaitu harga yang sebenarnya

dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual

atas barang yang dijual untuk diekspor ke daerah pabean ditambah

dengan:

a. biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam

harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar

berupa:

1. komisi dan jasa, kecuali komisi pembelian;

2. biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas

tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan barang

yang bersangkutan;

3. biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga

kerja pengepakan;

b. nilai dari barang dan jasa berupa:

1. material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang

terkandung dalam barang impor;

2. peralatan, cetakan, dan barang-barang yang sejenis yang

digunakan untuk pembuatan barang impor;

3. material yang digunakan dalam pembuatan barang impor;

4. teknik, pengembangan, karya seni, desain, perencanaan, dan

sketsa yang dilakukan dimana saja di luar daerah pabean dan

diperlukan untuk pembuatan barang impor, yang dipasok

secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan

syarat barang dan jasa tersebut:

a) dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan;

b) untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor

barang impor yang dibelinya;

c) harganya belum termasuk dalam harga yang sebenarnya

atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang

bersangkutan.

c. royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara

langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli

barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi

tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar

dari barang impor yang bersangkutan;

d. nilai setiap bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh pembeli

untuk disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada

penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau pemakaian barang

impor yang bersangkutan;

e. biaya . . .

- 18 -

e. biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekspor ke

pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean;

f. biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan

dengan pengangkutan barang impor ke pelabuhan atau tempat

impor di daerah pabean;

g. biaya asuransi.

Ayat (2)

Dua barang dianggap identik apabila keduanya sama dalam segala

hal, setidak-tidaknya karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama,

serta:

a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau

b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.

Ayat (3)

Dua barang dianggap serupa apabila keduanya memiliki karakter

fisik dan komponen material yang sama sehingga dapat

menjalankan fungsi yang sama dan secara komersial dapat

dipertukarkan, serta:

a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau

b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.

Ayat (3a)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud metode deduksi yaitu metode untuk menghitung

nilai pabean barang impor berdasarkan harga jual dari barang

impor yang bersangkutan, barang impor yang identik atau barang

impor yang serupa di pasar dalam daerah pabean dikurangi biaya

atau pengeluaran, antara lain komisi atau keuntungan, transportasi,

asuransi, bea masuk, dan pajak.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan metode komputasi yaitu metode untuk

menghitung nilai pabean barang impor berdasarkan penjumlahan

harga bahan baku, biaya proses pembuatan, dan

biaya/pengeluaran lainnya sampai barang tersebut tiba di

pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean.

Ayat (6)

Yang dimaksud dengan pembatasan tertentu yaitu bahwa dalam

perhitungan nilai pabean barang impor berdasarkan ayat ini tidak

diizinkan ditetapkan berdasarkan:

a. harga . . .

- 19 -

a. harga jual barang produksi dalam negeri;

b. suatu sistem yang menentukan nilai yang lebih tinggi apabila

ada dua alternatif nilai pembanding;

c. harga barang di pasaran dalam negeri negara pengekspor;

d. biaya produksi, selain nilai yang dihitung berdasarkan metode

komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah

ditentukan untuk barang identik atau serupa;

e. harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke daerah

pabean;

f. harga patokan;

g. nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau fiktif.

Ayat (7)

Cukup Jelas.

Pasal 16

Penetapan tarif dan nilai pabean atas pemberitahuan pabean secara

self assesment hanya dilakukan dalam hal tarif dan nilai pabean yang

diberitahukan berbeda dengan tarif yang ada dan/atau nilai pabean

barang yang sebenarnya sehingga:

a. bea masuk kurang dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean

yang ditetapkan lebih tinggi;

b. bea masuk lebih dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang

ditetapkan lebih rendah.

Dalam hal tertentu atas barang impor dilakukan penetapan tarif dan

nilai pabean untuk penghitungan bea masuk setelah pemeriksaan fisik,

tetapi sebelum diserahkan pemberitahuan pabean.

Dalam rangka memberikan kepastian pelayanan kepada masyarakat,

jika pemberitahuan pabean sudah didaftarkan, penetapan harus sudah

diberikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran.

Batas waktu 30 (tiga puluh) hari dianggap cukup bagi pejabat bea dan

cukai untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar pertimbangan

dalam melakukan penetapan.

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penetapan tarif sebelum penyerahan

pemberitahuan pabean yaitu penetapan tarif yang dilakukan

terhadap importasi tertentu secara official assesment.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan penetapan nilai pabean sebelum penyerahan

pemberitahuan pabean yaitu penetapan nilai pabean yang

dilakukan terhadap importasi tertentu seperti impor sementara,

barang penumpang, atau barang kiriman secara official assesment.

Ayat (3) . . .

- 20 -

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Ayat (6)

Cukup Jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Pada dasarnya penetapan pejabat bea dan cukai sudah mengikat

dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil penelitian ulang

atas pemberitahuan pabean atau dalam hal pelaksanaan audit

kepabeanan ditemukan adanya kekurangan dan/atau kelebihan

pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan

pemberitahuan tarif dan/atau nilai pabean, Direktur Jenderal

membuat penetapan kembali.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa pada dasarnya yang

mengetahui besarnya suatu transaksi yang dilakukan hanyalah

pihak penjual dan pembeli sehingga kebenaran pemberitahuan

nilai transaksi semata-mata tergantung pada kejujuran pihak yang

bertransaksi. Oleh karena itu, kesalahan akibat ketidakjujuran

yang ditemukan dalam penelitian kembali atau dalam pelaksanaan

audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 17A

Penetapan Direktur Jenderal sebelum diajukan pemberitahuan pabean

dalam pasal ini yaitu dalam rangka memberikan pelayanan kepada

pengguna jasa dan menyesuaikan dengan praktik kepabeanan

internasional yang lazim dikenal sebagai Pre-Entry Classification dan

Valuation Ruling.

Yang . . .

- 21 -

Yang dimaksud dengan Pre-Entry Classification yaitu penetapan

klasifikasi barang oleh Direktur Jenderal terhadap importasi barang

sebelum diajukan pemberitahuan pabean atas permohonan importir.

Yang dimaksud dengan Valuation Ruling yaitu penetapan nilai pabean

oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil audit

kepabeanan terhadap importasi barang yang telah dan akan dilakukan

oleh importir dalam jangka waktu tertentu.

Pasal 23A

Yang dimaksud dengan bea masuk tindakan pengamanan (safeguard)

yaitu bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil

pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah

ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai

akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara

langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan

tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius

dan/atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan

penyesuaian struktural.

Dalam hal tindakan pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk

kuota (pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan

tidak harus dikenakan.

Yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang

diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus

didasarkan pada (shall be based on) fakta-fakta bukan didasarkan

pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan.

Pasal 23B

Ayat (1)

Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak

wajar oleh suatu negara misalnya dengan pembatasan, larangan,

atau pengenaan tambahan bea masuk, barang-barang dari negara

yang bersangkutan dapat dikenai tarif yang besarnya berbeda

dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 23C

Cukup jelas.

Pasal 23D

Cukup jelas.

Pasal 25 . . .

- 22 -

Pasal 25

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pembebasan bea masuk yaitu peniadaan

pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini.

Huruf a

Yang dimaksud dengan barang perwakilan negara asing

beserta para pejabatnya yaitu barang milik atau untuk

keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk pejabat

pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia.

Pembebasan tersebut diberikan apabila negara yang

bersangkutan memberikan perlakuan yang sama terhadap

diplomat Indonesia.

Huruf b

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan badan

internasional beserta pejabatnya yaitu milik atau untuk

keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada

Pemerintah Indonesia, termasuk para pejabatnya yang

ditugaskan di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan

kepada pejabat badan internasional yang memegang paspor

Indonesia.

Huruf c

Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi

dari kementerian terkait terhadap buku-buku yang bertujuan

untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Huruf d

Yang dimaksud barang keperluan ibadah untuk umum yaitu

barang-barang yang semata-mata digunakan untuk keperluan

ibadah dari setiap agama yang diakui di Indonesia.

Yang dimaksud dengan barang keperluan amal dan sosial

yaitu barang yang semata-mata ditujukan untuk keperluan

amal dan sosial dan tidak mengandung unsur komersial,

seperti bantuan untuk bencana alam atau pemberantasan

wabah penyakit.

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan kebudayaan

yaitu barang yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan

kebudayaan antarnegara. Pembebasan bea masuk diberikan

berdasarkan rekomendasi dari kementerian terkait.

Huruf e

Cukup Jelas.

Huruf f . . .

- 23 -

Huruf f

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan yaitu barang atau peralatan

yang digunakan untuk melakukan penelitian/riset atau

percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu

penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi

dari kementerian terkait.

Huruf g

Cukup Jelas.

Huruf h

Cukup Jelas.

Huruf i

Cukup Jelas.

Huruf j

Yang dimaksud dengan barang contoh yaitu barang yang

diimpor khusus sebagai contoh, antara lain untuk keperluan

produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah dan jenis yang

terbatas, baik tipe maupun merek.

Huruf k

Cukup Jelas.

Huruf l

Yang dimaksud dengan barang pindahan yaitu barang-barang

keperluan rumah tangga milik orang yang semula berdomisili

di luar negeri, kemudian dibawa pindah ke dalam negeri.

Huruf m

Yang dimaksud dengan barang pribadi penumpang, awak

sarana pengangkut, dan pelintas batas yaitu barang-barang

yang dibawa oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam

penjelasan Pasal 10B ayat (3), sedangkan barang kiriman yaitu

barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri

kepada penerima tertentu di dalam negeri.

Huruf n

Cukup Jelas.

Huruf o

Yang dimaksud dengan perbaikan yaitu penanganan barang

yang rusak, usang, atau tua dengan mengembalikannya pada

keadaan semula tanpa mengubah sifat hakikinya.

Yang dimaksud dengan pengerjaan yaitu penanganan barang,

selain perbaikan tersebut di atas, juga mengakibatkan

peningkatan harga barang dari segi ekonomis tanpa mengubah

sifat hakikinya.

Pengujian . . .

- 24 -

Pengujian meliputi pemeriksaan barang dari segi teknik dan

menyangkut mutu serta kapasitasnya sesuai dengan standar

yang ditetapkan.

Pembebasan atau keringanan dalam hal ini hanya dapat

diberikan terhadap barang dalam keadaan seperti pada waktu

diekspor, sedangkan atas bagian yang diganti atau ditambah

dan biaya perbaikan tetap dikenakan bea masuk.

Huruf p

Pembebasan bea masuk dapat diberikan terhadap barang

setelah diekspor, diimpor kembali tanpa mengalami proses

pengerjaan atau penyempurnaan apapun, seperti barang yang

dibawa oleh penumpang ke luar negeri, barang keperluan

pameran, pertunjukan, atau perlombaan.

Terhadap barang yang diekspor untuk kemudian karena suatu

hal diimpor kembali dalam keadaan yang sama dengan

ketentuan segala fasilitas yang pernah diterimanya

dikembalikan.

Huruf q

Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan

penjenisan jaringan yaitu:

1) bahan terapi yang berasal dari manusia, yaitu darah

manusia serta turunannya (derivatif) seperti darah

seluruhnya, plasma kering albumin, gamaglobulin,

fibrinogen serta organ tubuh.

2) bahan pengelompokkan darah yang berasal dari manusia,

binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain.

3) bahan penjenisan jaringan yang berasal dari manusia,

binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain.

Ayat (3)

Ayat ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk mengatur

lebih lanjut persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi guna

memperoleh pembebasan berdasarkan pasal ini.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain

digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang

ditetapkan, seperti fasilitas pembebasan bea masuk atas impor

barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan, tetapi pada

kenyataannya diperdagangkan.

Pelanggaran atas ketentuan tentang pembebasan ini ditemukan

pada pengawasan, penelitian kembali, dan/atau pelaksanaan audit

kepabeanan.

Pasal 26 . . .

- 25 -

Pasal 26

Pembebasan bea masuk yang diberikan dalam pasal ini yaitu

pembebasan yang relatif, dalam arti bahwa pembebasan yang

diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu,

sehingga terhadap barang impor dapat diberikan pembebasan atau

hanya keringanan bea masuk.

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan keringanan bea masuk yaitu pengurangan

sebagian pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Huruf a

Yang dimaksud dengan penanaman modal pada huruf ini yaitu

penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri

sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan

yang berlaku.

Huruf b

Yang dimaksud dengan mesin untuk pembangunan dan

pengembangan industri yaitu setiap mesin, permesinan, alat

perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau perkakas yang

digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri.

Pengertian pembangunan dan pengembangan industri meliputi

pendirian perusahaan atau pabrik baru serta perluasan

(diversifikasi) hasil produksi, modernisasi, rehabilitasi untuk

tujuan peningkatan kapasitas produksi dari perusahaan atau

pabrik yang telah ada.

Huruf c

Yang dimaksud dengan barang dan bahan yaitu semua barang

atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang

digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan

barang jadi, sedangkan batas waktu akan diatur dalam

keputusan pelaksanaannya.

Huruf d

Cukup Jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan bibit dan benih yaitu segala jenis

tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diimpor dengan tujuan

benar-benar untuk dikembangbiakkan lebih lanjut dalam

rangka pengembangan bidang pertanian, perkebunan,

kehutanan, peternakan, atau perikanan.

Huruf f

Yang dimaksud dengan hasil laut yaitu semua jenis tumbuhan

laut, ikan atau hewan laut yang layak untuk dimakan seperti

ikan, udang, kerang, dan kepiting yang belum atau sudah

diolah dalam sarana penangkap yang bersangkutan.

Yang . . .

- 26 -

Yang dimaksud dengan sarana penangkap yaitu satu atau

sekelompok kapal yang mempunyai peralatan untuk

menangkap atau mengambil hasil laut, termasuk juga yang

mempunyai peralatan pengolahan.

Yang dimaksud dengan sarana penangkap yang telah

mendapat izin yaitu sarana penangkap yang berbendera

Indonesia atau berbendera asing yang telah memperoleh izin

dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan

atau pengambilan hasil laut.

Huruf g

Dalam transaksi perdagangan kemungkinan adanya

perubahan kondisi barang sebelum barang diterima oleh

pembeli dapat saja terjadi. Sedangkan prinsip pemungutan bea

masuk dalam Undang-Undang ini diterapkan atas semua

barang yang diimpor untuk dipakai sehingga, apabila terjadi

perubahan kondisi (kerusakan, penurunan mutu,

kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena

sebab alamiah), barang tersebut tidak sepenuhnya dapat

dipakai atau memberikan manfaat sebagaimana diharapkan,

wajar apabila barang yang mengalami perubahan kondisi

sebagaimana diuraikan di atas tidak sepenuhnya dipungut bea

masuk. Oleh karena itu pembatasan pada saat kapan

terjadinya perubahan kondisi barang tersebut, yaitu antara

waktu pengangkutan dan diberikannya persetujuan impor

untuk dipakai.

Huruf h

Yang dimaksud dengan kepentingan umum yaitu kepentingan

masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidang

keuangan, misalnya proyek pemasangan lampu jalan umum.

Huruf i

Cukup Jelas.

Huruf j

Cukup Jelas.

Huruf k

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain

digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang

ditetapkan, seperti fasilitas keringanan bea masuk atas impor

barang untuk keperluan olahraga tetapi pada kenyataannya

diperjualbelikan.

Pasal 27 . . .

- 27 -

Pasal 27

Ayat (1)

Huruf a

Kesalahan tata usaha yang dimaksud antara lain kesalahan

tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan pencantuman tarif.

Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan sebab tertentu yaitu bahwa hal

tersebut bukan merupakan kehendak importir, melainkan

disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah yang

mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat

dimasukkan ke dalam daerah pabean sehingga harus diekspor

kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan pejabat bea

dan cukai dalam kondisi yang sama.

Huruf d

Cukup Jelas.

Huruf e

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 30

Cukup Jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Pada prinsipnya importir bertanggung jawab atas bea masuk

barang yang diimpornya. Namun berdasarkan ketentuan dalam

Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang ini, importir baru dinyatakan

bertanggung jawab atas bea masuk sejak didaftarkannya

pemberitahuan pabean. Dengan demikian, sebelum didaftarkannya

pemberitahuan pabean, tanggung jawab atas bea masuk berada

pada pengusaha tempat penimbunan sementara, yaitu tempat

penimbunan barang impor yang bersangkutan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3) . . .

- 28 -

Ayat (3)

Apabila barang impor yang harus dilunasi bea masuknya terdiri

dari beberapa jenis dengan satu nama umum (golongan barang),

sedangkan jenis barang yang sebenarnya tidak dapat diketahui,

sebagai dasar perhitungan bea masuk, diambil tarif tertinggi yang

berlaku atas golongan barang tersebut dan nilai pabean ditetapkan

oleh pejabat bea dan cukai.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah

yaitu dibulatkan ke atas sehingga bagian dari ribuan menjadi

ribuan

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 37

Ayat (1)

Kewajiban membayar bea masuk yang timbul sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 harus dilunasi paling lambat pada tanggal

pendaftaran pemberitahuan pabean atas impor.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan penundaan yaitu penundaan pembayaran

bea masuk dalam rangka fasilitas pembayaran berkala dan

penundaan pembayaran bea masuk karena menunggu keputusan

pembebasan atau keringanan.

Ayat (2a)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 37A . . .

- 29 -

Pasal 37A

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Direktur Jenderal dapat memberikan penundaan atau pengangsuran

pembayaran setelah mempertimbangkan kemampuan orang dalam

membayar utangnya dengan memperhatikan laporan keuangan dan

kredibilitas orang tersebut.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 38

Cukup Jelas.

Pasal 41

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang

Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, penagihan bea masuk

dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 44

Ayat (1)

Tujuan pengadaan tempat penimbunan berikat dalam Undang-

Undang ini yaitu memberikan fasilitas kepada pengusaha berupa

penangguhan pembayaran bea masuk.

Yang dimaksud dengan penangguhan yaitu peniadaan sementara

kewajiban pembayaran bea masuk sampai timbul kewajiban untuk

membayar bea masuk berdasarkan Undang-Undang ini.

Dalam tempat penimbunan berikat dilakukan kegiatan menyimpan,

menimbun, melakukan pengetesan (Quality Control),

memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan,

menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur ulang,

melelang barang, merakit (assembling), mengurai (disassembling),

dan/atau membudidayakan flora dan fauna yang berasal dari luar

daerah pabean tanpa lebih dahulu dipungut bea masuk.

Pengadaan . . .

- 30 -

Pengadaan tempat penimbunan berikat ini diharapkan dapat

memperlancar arus barang impor atau ekspor serta meningkatkan

produksi dalam negeri.

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan mengolah yaitu kegiatan memproses

bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau

barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi.

Huruf c

Barang impor setelah dipamerkan dapat direekspor atau dijual

setelah dilunasi bea masuk yang terutang.

Barang yang berasal dari dalam daerah pabean dapat diekspor

setelah memenuhi persyaratan ekspor sesuai ketentuan yang

berlaku.

Huruf d

Yang dimaksud dengan orang tertentu yaitu warga negara asing

yang bertugas di Indonesia atau orang yang berangkat ke luar

negeri.

Huruf e

Cukup Jelas.

Huruf f

Cukup Jelas.

Huruf g

Yang dimaksud dengan daur ulang yaitu suatu kegiatan

pengolahan limbah dan barang lainnya menjadi produk yang

mempunyai nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Ayat (1a)

Penetapan oleh menteri ini guna mengantisipasi perkembangan

industri dan perdagangan internasional.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengusahaan tempat penimbunan berikat

yaitu kegiatan usaha menyimpan, menimbun, melakukan

pengetesan, memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting),

memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah,

mendaur ulang, melelang barang, merakit (assembling), mengurai

(disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna di

tempat penimbunan berikat.

Pasal 45 . . .

- 31 -

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan barang lainnya antara lain waste,

scrap, sisa/potongan, bahan baku yang rusak, dan/atau

barang yang rusak.

Ayat (3)

Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud

mengelakkan pembayaran bea masuk karena telah diajukan

pemberitahuan pabean dan bea masuk telah dilunasi, tetapi

pengeluaran barang tersebut dilakukan tanpa persetujuan pejabat

bea dan cukai sehingga pelanggar dikenai sanksi administrasi

berupa denda.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan pengusaha tempat penimbunan berikat

yaitu orang yang benar-benar melakukan kegiatan usaha

menyimpan, menimbun, melakukan pengetesan,

memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan,

menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur ulang,

melelang barang, merakit (assembling), mengurai (disassembling),

dan/atau membudidayakan flora dan fauna di tempat penimbunan

berikat.

Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor

yang wajib bea masuk, yang hilang dari tempat penimbunan berikat,

kepada pengusaha tempat penimbunan berikat, wajib membayar

bea masuk yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 49

Yang dimaksud dengan pembukuan yaitu suatu proses pencatatan

yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan

informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang,

modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan

jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang

kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan.

Kewajiban . . .

- 32 -

Kewajiban menyelenggarakan pembukuan diperlukan untuk

pelaksanaan audit kepabeanan setelah barang dikeluarkan dari

kawasan pabean.

Yang dimaksud dengan pengusaha pengangkutan yaitu orang yang

menyediakan jasa angkutan barang impor atau ekspor dengan sarana

pengangkut di darat, laut, dan udara.

Pasal 50

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak berada di tempat bagi orang berupa badan hukum yaitu

pimpinan badan hukum tersebut tidak berada di tempat.

Yang dimaksud dengan yang mewakili yaitu karyawan atau

bawahan atau pihak lain yang ditunjuk oleh orang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal 51

Ayat (1)

Pengaturan pada ayat ini dimaksudkan agar dapat dihitung

besarnya nilai transaksi impor atau ekspor. Untuk menjamin

tercapainya maksud tersebut, pembukuan harus diselenggarakan

dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya

berdasarkan standar akuntansi keuangan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi

bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan

usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan

kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh)

tahun di Indonesia dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal

akan melakukan audit kepabeanan, bukti dasar pembukuan dan

surat yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera

disediakan.

Dalam hal data tersebut berupa data elektronik, orang wajib

menjaga keandalan sistem pengolahan data yang digunakan agar

data elektronik yang disimpan dapat dibuka, dibaca, atau diambil

kembali setiap waktu.

Ayat (4) . . .

- 33 -

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 52

Cukup Jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Sesuai dengan praktik kepabeanan internasional, pengawasan

lalulintas barang yang masuk atau keluar dari daerah pabean

dilakukan oleh instansi pabean. Dengan demikian, agar pelaksanaan

pengawasan peraturan larangan dan pembatasan menjadi efektif dan

terkoordinasi, instansi teknis yang bersangkutan wajib

menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri untuk

ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya yang tidak

memenuhi syarat yaitu barang impor atau ekspor yang telah

diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, tetapi tidak

memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan

larangan atau pembatasan atas barang yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan diberitahukan dengan pemberitahuan

pabean dalam pasal ini dapat berupa pemberitahuan kedatangan

sarana pengangkut, pemberitahuan impor untuk dipakai, dan

pemberitahuan ekspor barang.

Permintaan importir atau eksportir untuk membatalkan ekspornya,

mereekspor, atau memusnahkan tidak dapat disetujui jika peraturan

perundang-undangan yang berlaku menetapkan lain.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan ditetapkan lain berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu bahwa peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan telah mengatur secara

khusus penyelesaian barang impor yang dibatasi atau dilarang,

misalnya impor limbah yang mengandung bahan berbahaya dan

beracun.

Penerapan . . .

- 34 -

Penerapan sanksi administrasi pada ayat ini tidak mengurangi

ketentuan pidana.

Pasal 54

Perintah tertulis tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang

daerah hukumnya meliputi kawasan pabean, yaitu tempat kegiatan

impor atau ekspor tersebut berlangsung.

Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa kawasan

pabean dalam daerah pabean Indonesia permintaan perintah tersebut

ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang

daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat

impor barang yang bersangkutan ditujukan atau dibongkar. Dalam hal

ekspor dilakukan dari beberapa kawasan pabean, permintaan tersebut

ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang

daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat

ekspor berlangsung

Yang dimaksud dengan pengadilan niaga yaitu pengadilan niaga yang

berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 56

Cukup Jelas.

Pasal 57

Ayat (1)

Jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja tersebut merupakan jangka

waktu maksimum bagi penangguhan. Jangka waktu tersebut

disediakan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang meminta

penangguhan agar segera mengambil langkah-langkah untuk

mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundangundangan

yang berlaku.

Ayat (2)

Perpanjangan jangka waktu penangguhan tersebut hanya dapat

dilakukan dengan syarat yang ketat untuk mencegah kemungkinan

penyalahgunaan hak untuk meminta penangguhan.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 58 . . .

- 35 -

Pasal 58

Ayat (1)

Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau

pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum

atau langkah-langkah untuk mempertahankan hak yang diduga

telah dilanggar.

Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan pejabat

bea dan cukai.

Ayat (2)

Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan

dugaan, kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan

secara wajar. Kepentingan tersebut, antara lain kepentingan untuk

menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang

dirahasiakan, yang digunakan untuk memproduksi barang impor

atau ekspor tersebut. Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya

diizinkan secara fisik, sekedar untuk mengidentifikasi atau

mencacah barang-barang yang dimintakan penangguhan.

Pasal 59

Cukup Jelas.

Pasal 60

Yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut, misalnya kondisi

atau sifat barang yang cepat rusak.

Pasal 61

Cukup Jelas.

Pasal 64A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penindakan yaitu penindakan di bidang

kepabeanan yang perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai terhadap barang yang diduga terkait dengan kegiatan

terorisme dan/atau kejahatan lintas negara.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 75 . . .

- 36 -

Pasal 75

Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan tugas

pengawasan agar sarana pengangkut melalui jalur yang ditetapkan

dan untuk memeriksa sarana pengangkut berupa kapal, pejabat

bea dan cukai perlu dilengkapi sarana operasional berupa kapal

patroli atau sarana pengawasan lainnya seperti radio

telekomunikasi atau radar.

Yang dimaksud dengan kapal patroli yaitu kapal laut dan/atau

kapal udara milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang

dipimpin oleh pejabat bea dan cukai sebagai komandan patroli,

yang mempunyai kewenangan penegakan hukum di daerah pabean

sesuai dengan Undang-Undang ini.

Ayat (2)

Kelengkapan kapal patroli atau sarana lain dengan senjata api

pada ayat ini dimaksudkan untuk menghadapi bahaya yang

mengancam jiwa atau keselamatan pejabat bea dan cukai dan

kapal patroli dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.

Pasal 76

Semua instansi pemerintah, baik sipil maupun militer bila diminta,

berkewajiban memberi bantuan dan perlindungan atau

memerintahkan untuk melindungi pejabat bea dan cukai dalam segala

hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Ketentuan dalam pasal ini menegaskan bahwa bantuan sebagaimana

dimaksud di atas yaitu sehubungan dengan segala kegiatan yang

dilakukan oleh pejabat bea dan cukai berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 78

Wewenang pejabat bea dan cukai yang diatur dalam ketentuan ini

dimaksudkan untuk lebih menjamin pengawasan yang lebih baik

dalam rangka pengamanan keuangan negara.

Pasal 82

Ayat (1)

Ayat ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai

untuk melakukan pemeriksaan barang guna memperoleh data dan

penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan atau dokumen yang

diajukan.

Dalam melaksanakan pemeriksaan ini pemilik barang atau

kuasanya wajib menghadiri pemeriksaan.

Ayat (2) . . .

- 37 -

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan menyerahkan barang untuk diperiksa pada

ayat ini yaitu menyiapkan barang di tempat pemeriksaan barang

dan menyiapkan peralatan pemeriksaan sehingga pejabat bea dan

cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik barang.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Ayat (6)

Yang dimaksud salah pada ayat ini yaitu kesalahan karena

kelalaian.

Yang dimaksud pungutan negara di bidang ekspor pada ayat ini

meliputi bea keluar.

Pasal 82A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemeriksaan karena jabatan yaitu

pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai karena

kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang ini

dalam rangka pengawasan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 85

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam hal orang yang

bersangkutan telah memenuhi kewajibannya, pejabat bea dan

cukai segera memberikan pelayanan kepabeanan.

Pasal 85A

Pasal ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk

melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu di atas alat

angkut, di tempat pemuatan, dan di tempat pembongkaran di dalam

daerah pabean.

Pasal 86 . . .

- 38 -

Pasal 86

Ayat (1)

Audit kepabeanan dilakukan dalam rangka pengawasan sebagai

konsekuensi diberlakukannya:

a. sistem self assesment;

b. ketentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi;

c. pemberian fasilitas tidak dipungut, pembebasan, keringanan,

pengembalian, atau penangguhan bea masuk yang hanya dapat

diawasi dan dievaluasi setelah barang impor keluar dari

kawasan pabean.

Ayat (1a)

Huruf a

Audit kepabeanan bukan merupakan audit untuk menilai atau

memberikan opini tentang laporan keuangan, tetapi untuk

menguji tingkat kepatuhan orang terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Laporan keuangan diminta dalam kegiatan audit kepabeanan

dengan tujuan hanya untuk memastikan bahwa pembukuan

yang diberikan oleh orang kepada pejabat bea dan cukai

adalah pembukuan yang sebenarnya yang digunakan untuk

mencatat kegiatan usahanya yang pada akhir periode

diikhtisarkan dalam laporan keuangan.

Selain itu, dengan laporan keuangan, pejabat bea dan cukai

dapat memperoleh informasi mengenai kegiatan orang yang

berkaitan dengan kepabeanan.

Pejabat bea dan cukai yang melaksanakan audit dilarang

memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak

terhadap segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan

kepadanya oleh orang berkaitan dengan audit yang

dilaksanakannya.

Huruf b

Yang dimaksud dengan pihak lain yang terkait, yaitu pihakpihak

yang mempunyai hubungan dengan orang yang terkait

dengan transaksi yang dilakukan oleh orang tersebut,

misalnya pembeli di dalam negeri atas barang impor, pembeli

di luar negeri atas barang ekspor, pemasok di dalam negeri

atas barang ekspor, pemasok di luar negeri atas barang impor,

bank, dan pihak lain yang diyakini dapat memberikan

keterangan sehubungan transaksi yang dilakukan oleh orang,

seperti Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan.

Huruf c

Cukup Jelas.

Huruf d . . .

- 39 -

Huruf d

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa perbuatan yang menyebabkan

pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan wewenangnya

mencakup perbuatan tidak menyerahkan laporan keuangan, buku,

catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat

yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik,

serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Pasal 86A

Cukup Jelas.

Pasal 88

Ayat (1)

Bangunan dan tempat lain yang bukan rumah tinggal yang

dimaksud dalam ayat ini misalnya bangunan yang didirikan khusus

untuk menyimpan barang apa pun dan pendirinya bukan

dimaksudkan sebagai tempat usaha berdasarkan Undang-Undang

ini.

Apabila berdasarkan petunjuk yang ada bahwa di tempat tersebut

terdapat barang yang tersangkut pelanggaran, baik sebagai barang

yang wajib bea masuk maupun yang dikenai peraturan larangan

dan pembatasan, Direktur Jenderal dapat memerintahkan pejabat

bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan terhadap tempat

tersebut.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 90

Ayat (1)

Penghentian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan

cukai terhadap sarana pengangkut bertujuan untuk pengawasan

dan dipatuhinya peraturan perundang-undangan yang

pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai. Dengan demikian penghentian dan pemeriksaan sarana

pengangkut serta barang di atasnya hanya dilakukan secara selektif.

Ayat (2) . . .

- 40 -

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan

pengawasan atas sarana pengangkut yang melakukan

pembongkaran barang impor, pejabat bea dan cukai berwenang

untuk menghentikan pekerjaan tersebut jika ternyata barang yang

dibongkar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku tidak boleh diimpor ke dalam daerah pabean.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 92A

Ayat (1)

Huruf a

Pembetulan surat tagihan kekurangan pembayaran bea masuk

menurut ketentuan ini dilaksanakan untuk menjalankan

pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan

atau kekeliruan manusiawi dalam suatu penetapan perlu

dibetulkan sebagaimana mestinya.

Pengertian membetulkan dapat berarti menambah,

mengurangi, atau menghapus, sesuai dengan sifat kesalahan

dan kekeliruannya.

Direktur Jenderal karena jabatannya dapat membetulkan atau

membatalkan surat tagihan kekurangan pembayaran bea

masuk yang tidak benar, misalnya tidak memenuhi

persyaratan formal meskipun persyaratan materialnya telah

terpenuhi.

Huruf b

Direktur Jenderal dapat mengurangi atau menghapus sanksi

administrasi berupa denda apabila orang yang dikenai sanksi

ternyata hanya melakukan kekhilafan bukan kesalahan yang

disengaja atau kesalahan dimaksud terjadi akibat perbuatan

orang lain yang tidak mempunyai hubungan usaha dengannya

serta tanpa sepengetahuan dan persetujuannya.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 93 . . .

- 41 -

Pasal 93

Ayat (1)

Ketentuan pada ayat ini ditujukan untuk menjamin adanya

kepastian hukum dan sebagai manifestasi dari asas keadilan yang

memberikan hak kepada pengguna jasa kepabeanan untuk

mengajukan keberatan atas keputusan pejabat bea dan cukai.

Waktu 60 (enam puluh) hari yang diberikan kepada pengguna jasa

kepabeanan ini dianggap cukup bagi yang bersangkutan untuk

mengumpulkan data yang diperlukan guna pengajuan keberatan

kepada Direktur Jenderal.

Dalam hal batas waktu 60 (enam puluh) hari tersebut dilewati, hak

yang bersangkutan menjadi gugur dan penetapan dianggap

disetujui.

Yang dimaksud dengan sebesar tagihan yaitu kekurangan bea

masuk, kekurangan pajak dalam rangka impor, dan sanksi

administrasi berupa denda.

Dalam hal tagihan telah dilunasi, keberatan tetap dapat diajukan

tanpa kewajiban menyerahkan jaminan.

Ayat (1a)

Yang dimaksud dengan barang belum dikeluarkan pada ayat ini

yaitu barang impor masih berada dalam kawasan pabean.

Pihak yang mengajukan keberatan bertanggung jawab terhadap

barang impor yang bersangkutan dan segala biaya yang mungkin

timbul.

Ayat (2)

Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur

Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang

diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka

waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu

melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan

suatu keberatan yang diajukan.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ditolak oleh Direktur Jenderal yaitu

penolakan oleh Direktur Jenderal atas keberatan yang diajukan

sehingga penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai

menjadi tetap.

Penolakan oleh Direktur Jenderal ini dapat pula berupa penolakan

sebagian atas keberatan yang diajukan, atau Direktur Jenderal

menetapkan lain dari penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea

dan cukai, dan penetapan ini dapat lebih besar atau lebih kecil dari

pada penetapan pejabat bea dan cukai tersebut.

Ayat (4) . . .

- 42 -

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Ayat (6)

Cukup Jelas.

Pasal 93A

Ayat (1)

Keberatan yang dapat diajukan yaitu keberatan terhadap

penetapan pejabat selain mengenai tarif dan/atau nilai pabean,

misalnya penetapan berupa pencabutan fasilitas atau penetapan

sebagai akibat penafsiran peraturan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur

Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang

diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka

waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu

melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan

keberatan yang diajukan.

Ayat (5)

Cukup Jelas.

Ayat (6)

Cukup Jelas.

Ayat (7)

Cukup Jelas.

Ayat (8)

Cukup Jelas.

Pasal 94 . . .

- 43 -

Pasal 94

Cukup Jelas.

Pasal 95

Cukup Jelas.

Pasal 102

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Cukup Jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan barang impor yang masih dalam

pengawasan pabean yaitu barang impor yang kewajiban

pabeannya belum diselesaikan.

Contoh membongkar atau menimbun di tempat selain tempat

tujuan yang ditentukan atau diizinkan yaitu barang dengan

tujuan tempat penimbunan berikat A dibongkar atau ditimbun di

luar tempat penimbunan berikat A.

Huruf e

Yang dimaksud dengan menyembunyikan barang impor secara

melawan hukum yaitu menyimpan barang di tempat yang tidak

wajar dan/atau dengan sengaja menutupi keberadaan barang

tersebut.

Yang dimaksud tempat yang tidak wajar antara lain di dalam

dinding kontainer, di dalam dinding koper, di dalam tubuh, di

dalam dinding kapal pada ruang mesin kapal, atau tempat-tempat

lain.

Huruf f

Cukup Jelas.

Huruf g

Cukup Jelas.

Huruf h

Perbedaan pelanggaran yang dimaksud dalam huruf ini dengan

pelanggaran dalam Pasal 82 ayat (5) yaitu bahwa pelanggaran ini

didasarkan atas perbuatan yang disengaja dan melawan hukum.

Pasal 102A

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b . . .

- 44 -

Huruf b

Yang dimaksud dengan pungutan negara di bidang ekspor yaitu

bea keluar.

Huruf c

Yang dimaksud dengan memuat yaitu memuat barang ekspor ke

dalam sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah

pabean.

Huruf d

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah pembongkaran

kembali barang ekspor yang telah dimuat di atas sarana

pengangkut dengan tujuan utama untuk mencegah ekspor fiktif,

misalnya barang ekspor dimuat di Semarang untuk tujuan

Singapura tetapi barang ekspor tersebut dibongkar di Jakarta.

Huruf e

Cukup Jelas.

Pasal 102B

Cukup Jelas.

Pasal 102C

Cukup Jelas.

Pasal 102D

Cukup Jelas.

Pasal 103

Huruf a

Pengertian dokumen palsu atau dipalsukan antara lain dapat

berupa:

a. dokumen yang dibuat oleh orang yang tidak berhak; atau

b. dokumen yang dibuat oleh orang yang berhak tetapi memuat

data tidak benar.

Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Memberi keterangan lisan sebagaimana dimaksud pada huruf ini

terutama untuk penumpang dan pelintas batas.

Huruf d

Ketentuan pidana ini berhubungan dengan keadaan tempat

ditemukannya orang menimbun, memiliki, menyimpan, membeli,

menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor

yang berasal dari tindak pidana penyelundupan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 102.

Orang . . .

- 45 -

Orang yang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan,

membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan

barang tanpa diketahui siapa pelaku kejahatan dapat dikenai

pidana sesuai dengan pasal ini. Akan tetapi, jika yang

bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik,

yang bersangkutan tidak dituntut. Kemungkinan bisa terjadi,

pelaku kejahatan dapat diketahui, sehingga kedua-duanya dapat

dituntut.

Pasal 103A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan mengakses yaitu tindakan atau upaya yang

dilakukan untuk login ke sistem kepabeanan.

Yang dimaksud dengan login yaitu memasuki atau terhubung

dengan suatu sistem elektronik sehingga dengan masuk atau

dengan keterhubungan itu pelaku dapat mengirim dan/atau

informasi melalui atau yang ada pada sistem elektronik.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 104

Huruf a

Cukup Jelas.

Huruf b

Cukup Jelas.

Huruf c

Cukup Jelas.

Huruf d

Ayat ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya pemalsuan

atau pemanipulasian data pada dokumen pelengkap pabean,

misalnya invoice.

Pasal 105

Yang dimaksud dengan merusak yaitu merusak secara fisik atau

melakukan perbuatan yang mengubah fungsi kunci, segel atau tanda

pengaman.

Pasal 107

Pasal ini menegaskan, jika pengusaha pengurusan jasa kepabeanan

melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dalam

melaksanakan pekerjaan yang dikuasakan oleh importir atau eksportir,

yang bersangkutan diancam dengan pidana yang sama dengan

ancaman pidana terhadap importir atau eksportir, misalnya, jika

pengusaha pengurusan jasa kepabeanan memalsukan invoice yang

diterima . . .

- 46 -

diterima dari importir sehingga pemberitahuan pabean yang diajukan

atas nama importir tersebut lebih rendah nilai pabeannya, pengusaha

pengurusan jasa kepabeanan dikenai ancaman pidana.

Pasal 108

Pasal ini memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan

hukum, perseroan atau perusahaan, termasuk badan usaha milik

negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, bentuk

usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk

persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau

koperasi dalam kenyataan kadang-kadang orang melakukan tindakan

dengan bersembunyi di belakang atau atas nama badan-badan

tersebut di atas.

Oleh karena itu, selain badan tersebut, harus dipidana juga mereka

yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau

yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut. Dengan

demikian orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri, tetapi wakil

dari badan tersebut, harus juga mengindahkan peraturan dan

larangan yang diancam dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah

yang melakukan tindak pidana tersebut.

Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang

akan dikenakan kepada badan-badan yang bersangkutan dan/atau

pimpinannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan tersebut

senantiasa berupa pidana denda.

Pasal 109

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan semata-mata digunakan untuk melakukan

tindak pidana yaitu sarana pengangkut yang pada saat tertangkap

benar-benar ditujukan untuk melakukan tindak pidana

penyelundupan.

Ayat (2a)

Yang dimaksud dengan dapat dirampas yaitu memberikan

kewenangan kepada hakim untuk mempertimbangkan putusan

dengan memperhatikan kasus per kasus, misalnya kapal yang

hanya mengangkut barang tertentu dalam jumlah sedikit

sedangkan kapal tersebut diperlukan sebagai alat angkut untuk

menopang perdagangan ekonomi daerah tentunya diputuskan

untuk tidak dirampas.

Ayat (3) . . .

- 47 -

Ayat (3)

Secara umum, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh

penuntut umum. Namun, barang impor atau ekspor yang

berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk

negara, berdasarkan Undang-Undang ini menjadi milik negara

yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 113A

Ayat (1)

Ayat ini mengamanatkan setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus

mengutamakan fungsi pelayanan maupun pengawasan dalam

menghimpun dana melalui pemungutan bea masuk, melindungi

kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dokumen,

dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong

laju pembangunan nasional.

Ayat (2)

Mengingat dalam pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai berkaitan erat dengan pengawasan dan pelayanan, pegawai

bea cukai yang melaksanakan tugas dan wewenangnya harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Komisi Kode

Etik apabila melanggar kode etik.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 113B

Cukup Jelas.

Pasal 113C

Cukup Jelas.

Pasal 113D

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pelanggaran kepabeanan yaitu

pelanggaran administrasi dan tindak pidana kepabeanan.

Yang dimaksud dengan berjasa yaitu berjasa dalam menangani:

a. pelanggaran administrasi meliputi memberikan informasi,

menemukan baik secara administrasi maupun secara fisik,

sampai dengan menyelesaikan penagihan; atau

b. pelanggaran . . .

- 48 -

b. pelanggaran pidana kepabeanan meliputi memberikan

informasi, melakukan penangkapan, penyidikan, dan

penuntutan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)

Cukup Jelas.

Pasal 115A

Ayat (1)

Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk menghindari

penyalahgunaan daerah perdagangan bebas (free trade zone)

dan/atau pelabuhan bebas terhadap pemasukan dan/atau

pengeluaran barang-barang larangan dan pembatasan seperti

narkoba, senjata api, bahan peledak.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 115B

Ayat (1)

Yang dimaksud informasi yang sifatnya tertentu yaitu informasi

yang menyangkut kerahasiaan negara atau yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 115C

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Ketentuan pada ayat ini sebagai upaya pengamanan keuangan

negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau

pejabat pemeriksa fungsional lain berdasarkan Undang-Undang.

Ayat (4) . . .

- 49 -

Ayat (4)

Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat ini, harus

menyebutkan nama tersangka, keterangan yang diminta serta

kaitan antara perkara pidana yang bersangkutan dengan

keterangan yang diminta tersebut.

Pasal II

Cukup Jelas.